Optimalisasi
Pemanfaatan TIK untuk Meningkatkan Mutu Hakiki Pendidikan
(Oleh Andi
Supriatna)
A. Pengantar
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan dari
Panitia Seminar dengan tema “Penggunaan ICT dalam Pendidikan” dalam rangka
Milad XXX Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta tahun 2011. Sesuai dengan tema,
bahan dalam makalah ini sebagian besar diperoleh dengan memanfaatkan berbagai
laman dalam internet dengan harapan bahwa sebagai peradaban baru, internet
dapat menjadi sumber informasi yang terpercaya. Jika harapan itu meleset, sudah
saatnya kita ikut memikirkan cara untuk menjaga kualitas informasi yang disajikan
dalam internet atau cara menyiasati pemilihan bahan dari internet.
Makalah ini ditujukan untuk menstimulasi pemikiran tentang
cara memanfaatkan tekonologi komunikasi dan informasi dalam pendidikan untuk
mendukung upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, yang menekankan
pengembangan kecerdasan komprehensif peserta didik—kecerdasan kinestetik,
emosional, spiritual, intelektual sehingga pendidikan dapat menjalankan fungsi
untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti telah diamanatkan dalam Pasal 3 UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat bahwa pendidikan tidak terjadi di ruang kosong,
melainkan dalam alam kehidupan nyata dengan segala aspeknya yang saling terkait,
yang telah berkembang melalui lorong waktu, pembicaraan akan dimulai dengan
menelusuri jejak sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan pengaruhnya pada
peradaban manusia. Dari sejarah tersebut kita akan dapat mengambil manfaat
dalam hal-hal yang positif, dan menghindari kesalahan yang sama agar kita tidak
dikendalikan oleh teknologi tetapi justru mengendalikan pemanfaatan teknologi
untuk hal-hal yang mulia dan mendidik. Selanjutnya, akan ditawarkan kerangka
pikir pemanfaatan TIK dalam pendidikan dan prinsip-prinsip pemanfaatan TIK
untuk mencapai hasil yang diinginkan, yaitu mempermudah pengembangan menyeluruh
potensi peserta didik—karakter dan kecerdasan intelektual. Pembahasan akan
ditutup dengan beberapa kesimpulan.
B. Teknologi
Komunikasi dan Peradaban Manusia
Teknologi komunikasi atau disebut sebagai
teknologi kultural (McGaghey, http://worldhistorysite.com) telah berkembang dan mempengaruhi perkembangan peradaban
manusia, dimulai dengan teknologi komunikasi tertua berupa tulisan ideografik pada
milenium ke-4 S.M. sampai yang mutakhir berupa komputer dengan jejaringnya (tekonologi
informasi) pada masa menjelang abad ke-21. Rentang waktu yang panjang tersebut
menyaksikan lima
gelombang perkembangan teknologi komunikasi dengan pola umum sebagai berikut:
a.
Ketika dikenalkan pertama kali ke masyarakat, teknologi baru dengan
kapabilitas komunikasi yang jauh lebih tinggi dan sangat berbeda akan mengubah
budaya secara besar-besaran dan benar-benar menandai permulaan peradaban baru. Kualitas
yang melekat pada teknologi baru tersebut membantu pembentukan budaya baru.
b.
Peradaban baru menghasilkan institusi kekuasaan baru karena kekuasaan
yang sebelumnya ditangani secara informal menjadi tertata, terpisah sebagai
pusat kekuasaan, dan menampakkan dominasi politik dan budaya.
c.
Setiap peradaban mengembangkan kepercayaan dan nilai utamanya sendiri,
model kepribadiannya sendiri yang atraktif, and ”agamanya” (dalam arti luas)
sendiri.
d.
Peradaban mengikuti siklus kehidupan di mana masa ”mudanya” ditandai
dengan pertumbuhan pesat dan kegiatan budaya, masa ”dewasanya” ditandai dengan
pembentukan kekuasaan, dan masa ”kejatuhannya” ditandai dengan koersi
kelembagaan dan kekerasan yang melibatkan kekuasaan tsb.
e.
Tema atau nilai yang berlaku pada awal masa kesejarahan sering mendorong
lahirnya tema atau nilai yang berlawanan seraya masa tersebut berakhir.
f.
Kedatangan peradaban baru juga mempengaruhi institusi-institusi yang
dominan pada dua masa sebelumnya.
Institusi demikian mengalami proses demokratisasi.
Dari masa ke masa, perkembangan
teknologi komunikasi makin cepat dan makin produktif, yang dapat dilihat dalam
ringkasan yang disarikan dari tulisan McGaghey (http://worldhistorysite.com) seperti disajikan di
bawah, dengan disertai ulasan tentang butir-butir yang dapat menjadi pelajaran
bagi kita. Perlu dicatat bahwa McGaghey adalah pelopor pendirian laman
tersebut. Pengelompokan perkembangan teknologi komunikasi menjadi lima gelombang mengacu
pada model McGaghey seperti disajikan di bawah, dengan catatan bahwa ketika
gelombang teknologi baru muncul tidak berarti teknologi sebelumnya berhenti
berkembang.
1. Gelombang I: Teknologi Tulisan
Ideografik atau Silabik
Gelombang teknologi komunikasi tertua ini
berlangsung selama 37 abad, dimulai dengan penemuan tulisan dari inskripsi
komersial oleh bangsa Sumerian pada abad ke-33 S.M., yang diikuti oleh 13
temuan atau peristiwa dengan yang terakhir terjadi pada abad ke-4 M. ketika
dikembangkan tulisan Jepang berdasarkan model Korea dan Cina. Tulisan
ideografik atau silabik ini menggunakan
simbol tertulis untuk mengungkapkan seluruh kata – satu kata, satu simbol—terlepas
dari isi bunyi. Jika kosakata lisan mengandung 10.000 kata, maka
10.000 simbol harus dipelajari untuk bahasa tulis. Tuntutan belajar yang begitu
berat membuat pengetahuan tentang tulisan hanya dikuasai oleh kelompok orang yang
sangat terlatih, seperti juru catat di candi-candi.
Tulisan ideografik
digunakan untuk mengabadikan pengetahuan, membuat catatan perdagangan, dan
mencatat riwayat pengumpulan pajak dan hukum, yang hanya dapat dilakukan oleh
juru catat terlatih, untuk memenuhi kebutuhan birokrasi pada pemerintahan. Maka
juru catat menikmati keistimewaan status sosial. Teknologi komunikasi tertua ini memfasilitasi
terbentuknya masyarakat sipil tertua (milenium ke-4 S.M.) dengan munculnya
negara-kota Mesopotania dan Mesir dan memuncak pada empat kekaisaran besar,
yaitu Romawi, Partian, Kushan, dan Han China pada abad ke-2 dan awal abad ke-3
M. McGaghey menyebut masa ini sebagai
Peradaban I, yang dicirikhasi oleh konflik antara masyarakat nomadik dan
masyarakat pertanian dan juga oleh perang dan pembangunan kekuasaan politik.
Sistem satu
simbol untuk satu kata dalam tulisan ideografik sebagai teknologi komunikasi menunjukkan
kelugasan dan kekonkretan; masuk akal jika teknologi ini meningkatkan ketajaman
persepsi terdekat. Masyarakat yang teknologi komunikasinya tidak pernah
melebihi tahap tulisan ideografik cenderung menjadi pencatat profesional, yang
diperlukan untuk mengadadikan pengetahuan, bukan untuk bercakap-cakap atau
menghibur. Kedisiplinan mencatat ini sangat membantu pengaturan pekerjaan umum
pada masa tulisan ideografik menjadi teknologi komunikasi utama. Pelajaran yang
dapat diambil adalah bahwa pencatatan cermat, tepat, tanpa makna ganda
diperlukan untuk keperluan koordinasi. Praktik menghafal simbol-simbol yang tak
terhitung jumlahnya meningkatkan kemampuan memori untuk menyimpan
informasi dan kecepatan memanggilnya
kembali saat diperlukan. Pelaku budaya ini cenderung kuat memorinya dan tidak
menjadi pelupa. Namun demikian, karena harus taat menyimpan simbol-simbol apa
adanya dan dalam jumlah yang cukup besar, sangatlah terbatas kesempatan dan
kemampuan untuk bergerak bagi pikiran mereka, yang berarti kurang berkembang
kreativitasnya. Dengan demikian, teknologi ini tidak mampu mendorong
berkembangnya ilmu yang memerlukan kemampuan analisis dan sintesis. Keterbatasan
ini teratasi dalam perkembangan teknologi berikutnya.
2. Gelombang II: Teknologi Tulisan
Alfabetik
Gelombang teknologi tulisan alfabetik dimulai
dengan kemunculan tulisan alfabetik pertama, Semitik Utara, di Palestina pada
Milenium ke-2 S.M., yang diduga dikembangkan dari tulisan demotik Mesir. Temuan
ini diikuti oleh 20 temuan atau peristiwa
pada abad ke-9 Masehi ketika
dikembangkan tulisan sirilik di Bulgaria dari unsial (tulisan bundar-besar)
Yunani. Teknologi komunikasi berupa tulisan alfabetik ini
menggunakan simbol visual berupa sederet huruf untuk mewakili bunyi bahasa.
Huruf-huruf diatur mengikuti urutan bunyi dalam kata lisan untuk membentuk
kata tertulis. Untuk kasus bahasa Inggris, ada 26 huruf yang mewakili berbagai
bunyi moda lisan, meskipun tidak ada konsistensi bahwa satu bunyi diwakili oleh
satu huruf atau perpaduan huruf tertentu. Seseorang harus mempelajari hanya 26
huruf tersebut untuk belajar menulis. Jumlah huruf yang berkurang mempermudah
belajar menulis. Artinya, lebih banyak orang dapat membaca dan menulis. Maka
muncullah publik pembaca.
Tulisan
alfabetik banyak digunakan pada zaman Raja Daud sekitar 1000 S.M., kemudian
dilengkapi dengan huruf vokal oleh bangsa Yunani. ”The five or six hundreds years that followed the transfer of the
phonetic alphabet from the Phonecians to the Greeeks was one of the most
creative periods in mans’ existence,” tulis Robert Logan dan buku The
Alphabet Effect. Dia meneruskan,
”Within this short period there appeared
many of the elements of Western civilization – abstract science, formal logic,
axionatic geometry, rational philosophy, and representational art.”
Keaksaraan yang meningkat di Yunani dan
tempat-tempat lainnya manimbulkan rasa ingin tahu tentang hakikat kata. Kata yang ditorehkan pada medium padat
seperti papirus atau batu tampaknya memiliki eksistensi yang mudah dirasakan
atau ditangkap. Para filosof bertanya: benda
apa ini? (Plato menjawab: bentuk). Teknologi
komunikasi ini mendukung terbentuknya masyarakat beradab setelah kebangkitan
filosofis dan spiritual pada abad ke-6 dan ke-5 S.M. Masyarakat
memiliki cita-cita meraih kebaikan dan kebenaran; cita-cita secara esensial
adalah kata. Filosofi etik seperti yang dirumuskan Plato dan Aristoteles
berkembang menjadi ideologi agama Kristiani. Meskipun dimulai pada masa yang didominasi
oleh kekuasaan politik, peradaban ini berdiri tegak setelah bangsa Huns dan
nomaden lainnya menghancurkan kekuasaan politik dominan tersebut antara abad
ke-3 dan ke-6 M.. Tiga agama dunia—budha, Kristiani, dan Islam—dan agama-agama
lain atau sistem-sistem filosofi seperti
Hinduisme, Judaisme, dan Konfucuisme mendominasi budaya manusia pada 1.500
tahun pertama era Kristiani.
Pada masa ini berkembanglah agama dunia sebagai
institusi dominan pada periode yang disebut oleh McGaughey sebagai Peradaban
II.
Dibandingkan teknologi sebelumnya, teknologi
tulisan alfabetik ini menghemat energi otak untuk menghafal dan menghemat
tempat dalam memori serta mendorong pemikiran abstrak yang semuanya pada
gilirannya mendorong kreativitas pikiran.
Manfaat terbesar dari teknologi ini adalah kemampuannya untuk mendorong
perubahan budaya lisan menjadi budaya tulis, yang berarti peningkatan tingkat keaksaraan
umum di masyarakat. Keaksaraan umum ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya
kemelitan (keingitahuan). Maka lahirlah publik yang melek aksara dan haus
pengetahuan. Akses terhadap informasi yang terkandung dalam bahasa tulis
berarti hilangnya keistimewaan yang pernah dinikmati oleh kelompok pencatat
pada masa teknologi sebelumnya, yang menyiratkan permulaan proses demokrasi.
Selain itu, sistem alfabet mendorong pemikiran analitis karena untuk mengubah
bahasa lisan menjadi bahasa tulis, seseorang harus mengenali bunyi yang
berurutan, mengasosiasikannya dengan huruf, dan menggabungkannya kembali
menjadi kata. McGaghey mengutip Logan yang menyatakan “the constant repetition of the process of phonemic analysis of a spoken word, every time it is written in an
alphabetical form, subliminally promotes the skills of analysis and matching
that are critical for the development of scientific and logical thinking.” ...
“the linking together of ... letters to form words prodived a model for the
linking of ideas to form a logical argument.” (http:www.wordhistorysite.com).
Dari semua keuntungan tersebut di atas, maka masuk akal bahwa masa teknologi
tulisan alfabetik ini melahirkan pemikir-pemikir besar dan memungkinkan
berkembangnya sains abstrak, logika formal, geometri aksiomatirk, filosofi
rasional, dan seni representasional, yang menjadi unsur peradaban Eropa.
(McGaghey, mengutip Robert Logan, penulis The
Alphabet Impact.)
Namun perlu dicatat bahwa akibat dari
berkembangnya kemampun berpikir abstrak dengan kerangka makro, timbul
kecenderungan untuk mengabaikan urusan kecil praktis. Kelompok intelektual
seperti filosof cenderung mengabaikan urusan nyata sehari-hari. Diakui oleh Plato bahwa seluruh dunia
menertawakan filosof atas “his ignorance
in matters of daily life ... he is unaware what his next-door neighbour is
doing ... the whole rabble will join the maid-servants in laughing at him, as
from inexperience he walks blidly and stumbles into every pitfalls. His
terrible clumsiness makes him seem so stupid.”(ibid.). Kelemahan lain
adalah bahwa bahasa tulis tidak dapat mengabadikan dengan baik aspek sensuous experience (pengalaman yang
memuaskan indera).
3. Gelombang III: Teknologi Cetak (Cetak, Ketik, Fotokopi)
Gelmbang
teknologi cetak, yang mencakup cetak, ketik, dan fotokopi ini dimulai dengan
penemuan kertas di Cina pada tahun 105 M. disusul 33 temuan/peristiwa sampai
tahun 1985 M. ketika dipasarkan mesin fotokopi berwarna. Teknologi ini meningkatkan efisiensi dalam memperbanyak
naskah tertulis. Piringan yang mengandung deretan huruf “menulis” seluruh halaman teks dalam cetakan
bertinta tunggal. Efisiensi yang
meningkat menghasilkan peningkatan volume pustaka cetak. Dalam hal ini, budaya cermat berkembang karena tuntutan
untuk memproduksi teks bebas kesalahan di mana harus dilakukan pengecekan ganda
teks yang akan diproduksi, tidak hanya sekali, tetapi mungkin berulang kali. Di
samping itu, dapat pula dibakukan ejaan dan jenis huruf.
Kemampuan teknologi cetak untuk mereproduksi
teks berulang kali dengan hasil yang persis sama dengan mudah dapat menjamin bahwa kata-kata
pengarangnya benar-benar ditransfer ke pembaca. Ini memungkinkan seseorang
untuk memperoleh penggemar untuk karya tulisnya. Dalam masa peradaban ini,
penyair dan penulis novel menjadi pahlawan budaya.
Pencetakan juga membantu penyebaran
pengetahuan. Jurnal ilmiah dapat menyajikan argumen yang diungkapkan secara
cermat kepada pembaca yang berminat. Kemampuan pewarta atau suratkabar untuk
menarik pembaca masal dapat ditangkap oleh pengiklan. Saat inilah perdagangan
menemukan jalan untuk memasarkan dagangannya melalui pustaka tertulis.
Teknologi
komunikasi ini mendukung terbentuknya budaya sekuler Eropa yang dimulai dengan
Renaisan Italia pada anad ke-14 dan ke-15 M. dan berlanjut sampai dua dasawarsa
abad ke-20 M. Sastra dan seni humanis dan juga sains empiris menyodorkan
tantangan pada agama yang berbasis filosofi. Peradaban ini didominasi oleh perdagangan meskipun pendidikan sekuler juga
memainkan peranan penting. Masyarakat menjadi tertata dalam negara bangsa gaya
Eropa.
Dari semua prestasi
teknologi cetak, produk budaya cetak yang paling penting adalah suratkabar. Ini
sebenarnya dimulai dengan korespondensi perorangan untuk berbagi keritera
pribadi tentang peristiwa. Surat tentang topik umum menjadi dasar penulisan
suratkabar. Tidak lama kemudian terbitlah suratkabar. Jurnalis Inggris, Addison
dan Steele, mengembangkan gaya baru menulis dalam pubilikasi mingguan mereka,
Tatler and Spectator, yang disebut
equatone, yang artinya nada dan perspektif tunggal di seluruh suratkabar.
Para jurnalis semua menulis dengan cara yang sama. Ketika sudah cukup banyak
oplahnya, maka bisnis dibujuk agar memasang iklan. Inilah pemicu revolusi cara
penjualan produk. Teknologi cetak telah menciptakan ruang untuk jenis baru
pengalaman publik, termasuk wacana publik.
Gelombang perkembangan teknologi cetak,
yang menyuburkan tumbuh-kembangnya perdagangan dan pendidikan sebagai institusi
dominan, disebut oleh McGaghey sebagai Peradaban III.
Sejarah
menunjukkan dua temuan teknologi cetak pertama kali terjadi di Cina, baru
kemudian yang ketiga di Jerman, tetapi temuan ketiga inilah yang melahirkan
peradaban baru. Tidak seperti bangsa Cina yang sistem tulisannya masih
ideografik, bangsa Eropa mampu mengekploitasi teknologi cetak secara lebih
efisien karena telah menerapkan sistem tulis alfabetik. Selain itu, masih ada
keuntungan lain. Bangsa-bangsa Eropa masing-masing mengembangkan pustakanya
dengan bahasanya sendiri, yang membantu memantabkan bahasa terkait. Pemanfaatan
produktif tekonologi cetak dan pemantaban bahasa masing-masing bangsa tersebut
telah menjadikan pustaka sebagai ekspresi budaya nasional.
Pustaka cetak
membantu mengabadikan pengetahuan dengan menyebarkannya ke audien yang lebih
luas melintasi ruang melalui pengiriman dan waktu melaui penyimpanan. Karena
buku-buku tersedia banyak sekali, para ilmuwan tidak perlu menghabiskan waktu
untuk mencari buku-buku tersebut sehingga mereka dapat memanfatkan waktunya
untuk hal-hal yang lebih bermanfaat secara akademik. Pustaka cetak juga mendukung
berkembangan pandangan bervariasi, terklasifikasi, dan lebih cermat teranalisis
tentang dunia dan peningkatan penyebaran pengetahuan ilmiah dan jurnal ilmiah
berkala mempercepat proses pertukaran informasi ilmiah. Di samping itu, kehati-hatian
dalam menyiapkan teks tertulis cocok dengan kebutuhan ilmuwan untuk mengamati
secara cermat dan melaporkan hasilnya secara amat rinci. Dalam Abad Pertengahan praktik plagiat masih
belum dianggap penting, tetapi ketika marak sekali praktik plagiat, timbullah
kepedulian terhadap masalah ini. Memang, hasil cetak dapat menunjukkan gaya
menulis seorang pengarang sehingga praktik plagiat akan dengan mudah ditemukan.
Pada abad inilah kepedulian terhadap hak cipta mulai timbul.
4. Gelombang IV: Teknologi rekaman
dan siaran elektronik
Gelombang teknologi ini mencakup fotografi,
telegraf listrik, tilpon, fonograf dan perekam pita, gambar hidup dan perekam
video, radio, TV. Gelombang ini dimulai dengan deskripsi tentang obskura kamera
dalam buku oleh Giovanni Battista della Porta pada tahun 1553 M., yang diikuti
oleh lebih dari 100 temuan/peristiwa sampai pada tahun 2001 ketika stasiun televisi STAR mulai operasi di
Asia. Teknologi komunikasi elektronik ini mencakup beberapa peralatan yang ditemukan pada abad ke-19 dan ke-20 M,
yang memungkinkan perekaman kata dan
citra yang memuaskan indera. Fotografi adalah temuan perdana teknologi
jenis ini, yang kemudian diikuti oleh telegraf, telepon, fonograf, mesin
gambar-bergerak, radio, dan televisi. Masing-masing peralatan ini mampu
mengabadikan citra aural atau visual atau kombinasi keduanya dengan segala
kreativitas citra artisitiknya dan juga mampu memancarkan-nya ke audien besar
dan tersebar ke seluruh penjuru dunia melintasi ruang dan waktu dengan
perantara kabel atau gelombang.
Teknologi komunikasi
elektronik ini, terutama televisi, menciptakan budaya gambar sempurna, begerak
cepat. Penampil ritmik, cantik yang mendominasi ranah ini menjadi pehlawan
budaya. Media elektronik memungkinkan pengabadian setiap ekspresi wajah dan setiap infleksi suara
penyanyi. Dengan teknologi komunikasi elektronik ini lahirnya budaya berita dan
hiburan pada akhir abad ke-20. Dengan tekonologi komunikasi tersebut
terpajanlah selebriti bagi khalayak ramai. Publik menjadi konsumen budaya
popular, yang padanya melekat berbagai macam ritme. Produk komersial yang
diiklankan di radio atau televisi
menjadi nama merek yang cepat laku. Maka jaringan televisi sebagai media berita dan hiburan menjadi institusi dominan yang
dihasilkan oleh Peradaban IV. Kemudian jaringan ini disusul dengan jaringan
internet.
Intelektualitas
yang tercipta lewat pengembangan ilmu yang difasilitasi oleh teknologi
alfabetik telah ikut menghasilkan temuan-temuan teknologis yang sangat
mempengaruhi gaya hidup manusia.
Kemampuan teknologi komunikasi elektronik (radio, TV) untuk
mengabadikan, memajankan, dan memancarkan pengalaman hidup, baik nyata maupun
imajinatif, ke audien yang besar di berbagai penjuru dunia, telah telah
menghasilkan berbagai macam perubahan yang secara signifikan besar, utamanya
dunia bisnis, khususnya bisnis hiburan,
dan pendidikan. Suguhan hiburan bisa sangat menyedot perhatian publik
karena daya tariknya yang luar biasa lantaran mestimulasi semua indera, baik
langsung maupun tidak langsung (lewat imajinasi). Para pelaku bisnis tidak
menyia-nyiakan peluang untuk memasarkan produknya lewat teknologi ini dan
terjadi perkembangan interaktif antara keduanya. Dunia hiburan menjadi bisnis
tersendiri, sementara pesan-pesan bisnis dapat disisipkan pada acara hiburan,
baik yang disuguhkan lewat media masa elektronik maupun yang langsung ditonton.
Besarnya daya tarik hiburan yang tersedia, orang menjadi terbiasa menghabiskan
waktu luangnya untuk hiburan, dan mulai kehilangan minatnya terhadap
masalah-masalah yang memerlukan kerja yang lebih serius, baik kerja fisik
maupun mental.
Berkembangnya
bisnis periklanan elektronik merupakan inovasi penting yang pantas dicatat.
Namun demikian, inovasi periklanan lewat media elektronik audio-visual ini
lebih berpihak pada pebisnis besar karena kemampuannya membayar ongkos iklan
yang mahal. Selain itu, perkembangan bisnis periklanan telah mempengaruhi pola
pikir dan gaya hidup masyarakat. Daya tarik iklan mampu menguasai hati dan
pikiran audien sedemikian cepat sehingga mereka tidak sempat menimbang-nimbang
ketika memutuskan untuk membeli barang-barang yang diiklankan. Tanpa disadari
mereka terbiasakan untuk ambil keputusan secara intuitif tanpa perasaan dalam
dan tanpa pikiran panjang; dus penguatan
cara berpikir intuitif dan penurunan kemampuan berpikir kritis-reflektif. Tambahan lagi, kepuasan fisik dan
materialistic yang dapat diraih dengan cepat telah membentuk budaya
konsumtif. Budaya ini jelas menurunkan
kemampuan untuk menentukan prioritas, yang dalam kondisi ekonomi lemah, dapat
menyulut frustasi dan keputusasaan. Ini menjadi tantangan dalam dunia
pendidikan karena dalam hidup ini masih banyak masalah yang perlu diselesaikan
dengan melibatkan pemikiran kritis-reflektif
dengan disertai kepekaan nurani dan pemanfaatan sumber daya dalam kondisi
terkendala memerlukan kemampuan menentukan prioritas.
5. Gelombang V: Teknologi Kalkulator
dan Komunikasi Komputer
Gelombang teknologi komunikasi komputer
ini dimulai dengan karya rintisan cara pengalian dan pembagian dengan
menggunakan tambang atau tulang oleh John Napier pada tahun 1617 M. dan diikuti
oleh 77 temuan/peristiwa sampai tahun 2005 ketika Youtube diluncurkan dan
setahun kemudian dijual kepada Google dengan harga US$1,65 milyar. Teknologi
komputer tampaknya lebih memikat tipe orang yang lebih intelektual, atau paling
tidak, berkecenderungan teknikal daripada mereka yang terfokus pada dunia
hiburan. Penggunanya sering bekerja sendiri di depan terminal. Mereka harus
memiliki kemampuan mengetik. Ini menambah jejaringkerja individu-individu yang menyendiri,
cerdas tetapi mungkin secara sosial aneh: orang yang membosankan. Di sisi lain,
kegiatan komputer tidak memproduksi terlalu banyak hiruk-pikuk seperti
peralatan sebelumnya. Mungkin peralatan komputer menjadi lebih kecil dan lebih
mobil, dan dengan penambahan banyak fitur pengenal suara, kegunaannya akan menjadi bagian dari gaya
hidup aktif yang secara sosial menstimulasi. Ini telah mulai terjadi. Pada masa
ini mulai berkembang Peradaban V, yang sekarang ini masih sangat muda.
Meski sangat
muda, peradaban ini tampak telah berkembang dengan pesat, terutama dengan
diciptakannya laman-laman internet yang mampu menyimpan berbagai macam
informasi, baik cetak dan gambar bergerak serta suaranya sekaligus, dan dapat
diakses secara instan dari manapun pengakses berada. Kemampuan internet yang
demikian inilah makin membuat dunia ini benar-benar terasa seperti “kampung”
maya, di mana para penduduknya sangat dekat. Tentu saja semua ini mempercepat
penyebaran informasi tanpa batas, baik informasi faktual, konseptual, maupun
prosedural, dalam kemasan artikel, jurnal, buku atau kemasan lain dengan
diiringi gambar dan suara yang sesuai dengan segala kreativitas artistiknya.
Laman-laman internet menjadi sumber informasi bagi semua orang yang
menginginkannya. Dengan tekologi mutakhir ini, telah pula berkembang
pembelajaran berbasis komputer dan berbasis TIK, yang membantu upaya memotivasi
pelajar melalui kemasan informasi yang memikat, lengkap dengan gambar berwarna
dan bergerak, baik gambar nyata maupun animasi. Model pembelajaran ini tentu
selaras dengan lingkungan ber-TIK di luar sekolah sehingga memotivasi pelajar
untuk belajar.
Kita juga bisa
menyaksikan bahwa di Indonesia Peradaban V ini diwarnai dengan penggunaan
hand-phone yang sangat luar biasa luas, menjangkau semua kelompok umur.
Komunikasi antar manusia sangat lancar tanpa kendala ruang dan waktu,
benar-benar instan. Kapasitas memori mesin HP yang makin besar mampu memuat
data yang besar pula, termasuk pertunjukan musik dan gambar hidup bersama
suaranya. Maka penggunanya memperoleh keuntungan ganda: (a) komunikasi tak
kenal waktu dan tempat, dan (b) hiburan seketika. Di samping itu, pengguna HP
juga bisa mengunduh informasi dari laman internet sehingga HP dapat membantu
para pelajar dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan dukungan banyak
informasi dalam waktu cepat. Kemampuan untuk mencetak langsung informasi yang
diunduh dapat menghemat waktu para pelajar tsb.
Kemajuan TIK
patut diapresiasi, namun ada juga beberapa hal yang perlu diwaspadai. Pertama,
informasi yang tersaji di laman-laman internet bermacam-macam, mulai dari yang
sangat bermanfaat karena relevan dengan kebutuhan pengunduh, sampai yang sangat
merugikan karena kurang cocok dengan tingkat perkembangan anak. Termasuk dalam
jenis informasi yang disebut terakhir itu adalah informasi yang mengandung
perilaku kekerasan, kesewenang-wenangan, perilaku lain yang tidak terpuji serta
pornografi. Kedua, pengguna HP sering lupa diri sehingga sering mereka menyetir
sepeda motor sambil berkomunikasi lewat HP. Anak-anak sekolah juga sering lebih
tertarik ber-HP ria daripada belajar. Ketiga, adanya orang yang secara tidak
bertanggung jawab mengirim gambar porno ke nomor HP anak-anak di bawah umur,
dan hal ini tidak mudah untuk dikendalikan.
Seraya budaya berita
dan hiburan tetap terus berkembang
dengan teknologi komunikasi elektronik, budaya TIK telah menunjukkan
kekuatannya. Internet memang sudah ada sejak 1969, tetapi dampaknya menjadi
luar biasa setelah ditemukannya World
Wide Web pada tahun 1989 oleh Tim Berners-Lee dan diimplementasikan tahun
1991 (http://en.wikipedia.org/wiki/Information_Age). Kecepatan mengakses dan menyebarkan
informasi secara instan menjadi cirikhas Peradaban V dan belum pernah dialami
sebelumnya.
6. Pelajaran dari Perkembangan Teknologi Komunikasi
Pelajaran yang dapat kita peroleh dari
perkembangan teknologi dalam lima gelombang tersebut di atas adalah bahwa: (a) dalam kehidupan bermasyarakat ada pekerjaan
yang memerlukan ketekunan, ketelitian, ketaatan, dan disiplin tinggi dan untuk ini diperlukan
pelatihan yang memadai, meski hal ini tampak usang dalam era teknologi yang
serba cepat; (b) kemampuan analisis dan sintesis serta berpikir abstrak sangat
diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi perlu diimbangi dengan
kemampuan berpikir realistis agar tidak canggung menghadapi kehidupan nyata; (c)
kemudahan dalam mengakses dan menggandakan bahan cetak mendorong praktik
plagiat dan tantangan ini perlu dijawab lewat pendidikan dengan penanaman nilai
kejujuran dan sportivitas; (d) kemampuan teknologi moderen untuk menyajikan informasi
secara cepat dalam kemasan menarik dapat mempermudah pembelajaran bagi peserta
didi dengan perbedaan tingkat kemampuan dan
gaya belajar; dan (e) teknologi yang membuat segala urusan kehidupan lebih
mudah ini hanya mungkin lahir karena creativitas manusia yang didukung
ketersedian sumber daya sebagai anugerah dari Tuhan YangMasa Esa.
Namun demikian, peringatan McLuhan pantas
diperhatikan, yang terkenal dengan pernyataan ”The medium is the message”. Kita
diingatkan bahwa teknologi mengubah budaya kita, dan perubahan itu tidak selalu
positif, bahkan ada yang secara mendasar sangat negatif. Sebagai contoh, terciptannya
budaya instan dalam penerapan teknologi canggih yang membuata semua urusan
menjadi sangat mudah, dapat mengurangi daya tahan mental dan daya juang yang
terkait dengan kesungguhan, keuletan, kegigihan, dan kerja keras padahal pengembangan ilmu
pengetahuan untuk mendukung pembangunan kehidupan yang lebih baik memerlukan
semua ini. Suguhan media elektronik tentang gambaran kehidupan yang gemerlapan
lewat kemasan hiburan telah menciptakan budaya konsumtif-boros. Selain itu, keasyikan
menikmati hiburan di depan TV atau mengakses informasi di depan komputer dapat
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berolahraga dab bersilaturahmi
dengan saudara/sahabat sehingga banyak kasus obesitas dan kegersangan kehidupan
sosial. Selain itu, jira pembelajaran sebagian besar dilaksanakan dengan ICT,
peserta didik akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan
interaktif dan komunikasi tatap muka dan belajr memecahkan masalah dan
bersosialisasi. Semua ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang
menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Singkatnya, teknologi dalam tidak
dapat mengambil alih peran guru.
C. Memanfaatkan TIK untuk Memfasilitasi
Pendidikan dalam Menjalankan Fungsi dan Mencapai Tujuannya
Seperti telah disebut dalam
pengantar, pendidikan tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam dunia
nyata. Oleh sebab itu, ada baiknya kita perhatikan ciri-ciri abad informasi
ini.1. Konteks Zaman
Dalam memanfaatkan TIK untuk tujuan
pendidikan diperlukan kesadaran akan ciri-ciri abad ke-21 ini, yang akan
membantu dalam penentuan langkah kependidikan yang tepat, termasuk dalam
merancang pemanfaatan TIK, untuk
menjamin efektivitasnya. Abad ke-21 sedikitnya memiliki ciri-ciri berikut
(Mulkeen dan Tetenbaum, 1987 dan 1986, dalam Lange, 1990):
(a) berbasis pengetahuan, yang mensyaratkan dimilikinya kemampuan untuk
membuat keputusan cerdas, berbasis rujukan pengetahuan, dan bijaksana;
(b) peningkatan arus informasi, yang memerlukan kemampuan dan kepedulian untuk
mengeleksinya;
(c) perubahan
cepat dan ketidaktetapan, yang memerlukan sikap fleksibel dan kemauan untuk
selalu belajar (belajar sepanjang hayat);
(d) peningkatan
desentralisasi organisasi, institusi, dan sistem, yang semuanya memerlukan
kemampuan dan kemauan untuk berkolaborasi dan berbagi keahlian dan perspektif;
(e) berorientasi
pada orang, yang memerlukan pengakuan akan pentingnya pemenuhan kebutuhan
individu untuk penentuan nasib sendiri dan asupan dalam proses pembuatan
keputusan untuk pengolahan eksperimentasi, inovasi, dan kewirausahaan
perorangan; dan
(f) pergeseran
demografis mayor, yang memerlukan kebijaksanaan matang dalam menanganinya.
Dengan ciri-ciri tersebut, beberapa
ketegangan telah diidentifikasi oleh UNESCO untuk dijawab. Ketegangan-ketegangan
tersebut meliputi (Dellors, 1996):
1.
Ketegangan
antara kepentingan global dan kepentingan lokal: secara bertahap setiap insan
perlu menjadi warga global tanpa kehilangan akarnya, tetapi perlu tetap aktif
berperan dalam kehidupan bangsa dan masyarakat lokalnya.
2.
Ketegangan
antara orientasi nilai universal dan nilai perorangan: secara pelan tetapi
pasti, dalam batas tertentu, budaya
menjadi terglobalisasi. Globalisasi menawarkan sederet keuntungan sekaligus mengandung resiko,
termasuk resiko terabaikannya karakter unik setiap insan manusia, yang pada hakikatnya bebas memilih masa depannya sendiri dan
mencapai seluruh potensinya dalam kekayaan tradisi dan lingkup budayanya
sendiri yang, bila tidak dijaga, dapat
terancam oleh perkembangan kontemporer.
3.
Ketegangan
antara tradisi dan modernitas, yang merupakan bagian dari masalah yang
sama: bagaimana mungkin menyesuaikan
diri dengan perubahan tanpa mem-belakangi masa lalu, bagaimana otonomi dapat
diperoleh dengan tetap mendukung perkembangan bebas orang lain, dan bagaimana
kemajuan ilmu dapat diasimilasikan?
Tantangan-tantangan ini perlu dijawab
dengan bantuan teknologi informasi yang
baru.
4.
Ketegangan
antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek: ketegangan ini telah lama
terjadi, dan justru sekarang diperparah
oleh keserbasesaatan dan keserbacepatan.
Opini publik menuntut jawaban cepat dan solusi seketika, sedangkan banyak
masalah memerlukan strategi yang cermat, terpadu, dan ternegosiasikan untuk
mencapai pembaharuan. Berkenaan dengan persoalan inilah kebijakan pendidikan
mesti dibuat.
5.
Ketegangan
antara kebutuhan berkompetisi pada satu sisi dan kepedulian terhadap pemerataan
kesempatan pada sisi lain: persoalan ini telah dihadapi sejak awal abad ini
oleh pembuat kebijakan sosial dan ekonomi dan pembuat kebijakan pendidikan.
Berbagai solusi telah sering diusulkan tetapi tidak pernah tuntas. Tekanan untuk
berkompetisi diduga telah menyebabkan mereka yang berkuasa kehilangan visi
tentang misi mereka, yaitu misi untuk memberikan kepada setiap orang
alat/sarana untuk dapat meraih keuntungan penuh dari setiap kesempatan yang
ada. Untuk mengatasi masalah ini tiga kekuatan hendaknya dipadukan: kompetisi,
yang memberikan insentif; kerja sama, yang memberikan kekuatan; dan
solidaritas, yang mempersatukan.
6. Ketegangan
antara perluasan luar biasa ilmu pengetahuan dan kapasitas manusia untuk
mengasimilasikannya: kurikulum telah sarat muatan, tetapi ada godaan untuk
menambah jumlah bidang studi, seperti pengetahuan diri (self-knowledge), dan cara-cara menjamin kesehatan fisik dan
psikologis atau cara-cara meningkatkan pemahaman terhadap lingkungan alam dan
mejaga kelestariannya. Maka strategi pembaharuan harus mencakup penentuan
pilihan, dengan tetap mengingat pentingnya melestarikan ciri-ciri pendidikan
dasar yang membelajarkan murid untuk meningkatkan kehidupannya melalui ilmu
pengetahuan, eksperimen dan pengembangan budaya mereka.
7. Ketegangan antara kebutuhan spiritual dan
material: ‘moral’ sampai saat ini tampaknya masih merupakan hal yang dirindukan
bangsa dunia. Maka merupakan tugas mulia pendidikan untuk mendorong setiap
orang, untuk bertindak sesuai dengan tradisi dan keyakinannya dan menghormati
kemajemukan, dan mengangkat pikiran dan semangatnya ke tataran universal serta
dalam hal tertentu mentransendensikan dirinya. Dapat dikatakan bahwa bahwa
kelangsungan hidup umat manusia tergantung pada keberhasilan untuk mencapai tataran
moral ini.
Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya
juga membekali peserta didik dengan kemampuan Ipteks dan Imtak dan kecakapan
hidup untuk menjawab tantangan abad ke-21 dengan tujuh jenis ketegangan tersebut
di atas. Maka kita perlu benar-benar merancang pemanfaatan TIK dengan
mempertimbangan, pertama dan utamanya, fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia,
yang dilandasi UU Sisdiknas tahun 2003, pendidikan berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 3). Fungsi ini sudah cukup lama
terabaikan dan akibatnya dapat dilihat dari fenomena yang ada di masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini perhatian khusus diberikan pada masalah ini.
Kita wajib mengapresiasi bahwa pada tahun
2010 Pemerintah mengeluarkan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa
2010-2025. Untuk kepentingan makalah ini, di bawah ini disajikan konteks mikro
pendidikan karakter yang diambil dari Desain tersebut (halaman 33). (Pembaca
bisa membandingkan rancangan ini dengan rancangan utama yang diusulkan oleh
Darmiyati Zuchdi, 2009).
Seperti dapat dilihat pada Gambar
1, kegiatan pembentukan karakter perlu dilakukan di sekolah, rumah, dan masyarakat dengan menjaga
keselarasannya untuk menjamin ekeftivitasnya. Pembiasaan kerja hati, otak, dan
raga yang dilandasi nilai-nilai universal dalam kehidupan keseharian menjadi
strategi utama dalam pembentuk-an karakter, disertai keteladanan dari semua
komunitas pendidikan dalam tripusat pendidikan tersebut. Lewat pembiasaan akan
terbentuk karakter mulia yang
merupakan “habit of the mind,” “habit of
the heart”, dan “habit of the hands”
(kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan raga), sebagai penegakan
sembilan nilai universal yang menjadi pilar karakter sebagai berikut (Ratna
Megawangi, 2010): (1) Cinta
Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian,
(3) kejujuran, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama,
(6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan
kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Karakter
orang akan mewujud dalam kiprahnya di
dunia nyata ketika orang yang bersangkutan menghadapi masalah. Wujud kiprah
karakter idaman adalah keberhasilan dalam ”(a)
menentukan pilihan-pilihan secara mandiri dalam hidup ketika menghadapi kendala untuk mencapai
kebaikan, dan (b) mengatasi secara efektif situasi sulit, tidak enak/tidak
nyaman, atau berbahaya (Suwarsih Madya, 2010: 5).” Untuk mencapai keberhasilan membentuk karakter, diperlukan kerja keras
dan komitmen yang konsisten. Terkait dengan hal ini, perlu diperhatikan
pernyataan berikut: Good character is more to be praised than
outstanding talent. Most talents are to some extent a gift. Good character, by
contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought,
choice, courage and determination.” (John Luther, dikutip oleh Ratna
Megawangi, 2010).
Selanjutnya, tujuan pendidikan nasional
adalah ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab” (Pasal 3). Artinya, seluruh potensi peserta didik hendaknya
dikembangkan, baik potensi kinestetik, potensi emosional, potensi estetik,
potensi intelektual, dan potensi spiritual keagamaan sehingga tumbuh kembang
menjadi menusia Indonesia seutuhnya dengan ciri-ciri tersebtu di atas. Jika tujuan
ini sepenuhnya tercapai, maka watak atau karakter idaman peserta didik akan
terbentuk sehingga terwujud dalam kiprahnya seperti tersebut di atas dan dengan
demikian maka akan terwujudlah kehidupan bangsa yang cerdas, sebagai salah satu
tujuan pendirian negara RI tercinta ini. Terkait dengan hal ini, telah
diidentifikasi dua ciri kehidupan yang cerdas sebagai berikut: (1) sarat oleh perilaku warga yang
mengandung kebajikan/kemajuan bagi diri sendiri, masyaarakat, dan bangsa
sebagai (a) amalan ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila, dan (b)
penerapan ipteks yang relevan; dan (2) jauh dari perilaku destruktif/merugikan
bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa (Suwarsih Madyaa, 2010).
Persoalan pentingnya watak atau karakter bukan hal baru. Ratna Megawangi
(2010) mengutip Heraclitus (500S.M.) yang
berkata bahwa “Character is destiny. It shapes the destiny
of a whole society”. Untuk acuan konseptual tentang pendidikan, ada
baiknya mempertimbangkan pengertian tentang pendidikan karakter yang juga dikutip
oleh Ratna Megawangi (2010: 5) dari Bohlin, Farmer, dan Ryan (2001) sebagai
berikut: “Character education is teaching students to know the good, love
the good, and do the good. It is cognitive, emotional, and
behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on
all three”.
Karakter ini perlu diberi perhatian serius dalam
pendidikan karena telah ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan
intelektual (verbal dan logis-matematis) hanya memberikan kontribusi 20% saja
dari keberhasilan manusia di masyarakat, sedangkan 80% lebih banyak ditentukan
oleh kecerdasan emosi (Ratna Megawangi, 2010, menyitir Heckman, James &
Pedro Carneiro, 2003, penulis "Human
Capital Policy.") Kecerdasan
emosi merujuk pada karakter atau dalam bahasa agamanya akhlak mulia. Hasil penelitian George Boggs, yang juga
disitir Ratna Megawangi (2010) juga menunjukkan bahwa dari 13 faktor penunjang
keberhasilan seseorang di dunia kerja, 10 di antaranya (hampir 80%) adalah
kualitas karakter seseorang, dan sisanya
(tiga) berkaitan dengan faktor kecerdasan intelektual. Ke-13 faktor tersebut
adalah: (1) jujur dan dapat diandalkan; (2) bisa dipercaya dan tepat waktu; (3)
bisa menyesuaikan diri dengan orang lain; (4) bisa bekerjasama dengan atasan;
(5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban; (6) mempunyai motivasi kuat untuk
terus belajar dan meningkatkan kualitas diri; (7) berpikir bahwa dirinya
berharga; (8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif; (9) bisa
bekerja mandiri dengan supervisi minimum; (10) dapat menyelesaikan masalah
pribadi dan profesinya; (11) mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan); (12) bisa
membaca dengan pemahaman memadai; dan (13) mengerti dasar-dasar matematika
(berhitung).
Begitu pentingnya karakter sehingga perlu
benar-benar dijaga agar pemanfaatan TIK tidak mengganggu pembentukan karakter
peserta didik, melainkan justru mendukungnya. Mengapa? Karena tidak ada gunanya
mendidik anak menjadi sangat pintar tetapi karakternya buruk dan/atau lemah
sehingga justru dengan kepinterannya tersebut kelak mereka akan membuat
kerusakan atau menimbulkan kerugian, baik bagi diri sendiri, bagi masyarakat,
maupun bagi bangsa. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK dalam pendidikan perlu
dirancang, direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai dalam rangka mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya seperti diuraikan di atas.
3. Merancang Pemanfaatan TIK untuk Mendukung Pelaksanaan Fungsi dan
Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Belajar dari sejarah yang diuraikan pada
permulaan makalah ini, ada baiknya kita renungkan salah satu saran untuk tidak
puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK, melainkan menjadi produsen dan
inovator dalam TIK sehingga dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik (http://en.wikipedia.org/wiki/
Information_Age). Selanjutnya, agar pamanfaatan TIK dalam pendidikan dapat benar-benar
optimal dari segi dukungannya pada pelaksanaan fungsi dan tercapainya tujuan
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, kita perlu mengoptimalkan keuntungannya dan meminimalkan dampak
negatifnya sesuai dengan kualtias yang melekat pada TIK terkait dan bidang garapan pendidikan,
yaitu pembelajaran dan managemen. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK perlu
dituntun oleh kerangka pikir daln dilandasi oleh prinsip. Saya mengusulkan
kerangka pikir dan lima prinsip seperti disajikan di bawah.
a. Prinsip-prinsip Pemanfaatan TIK dalam
Pendidikan
Untuk menjaga agar pemanfaatan TIK tetap memberikan kontribusi signifikan
terhadap (1) pengembangan peserta didik menjadi manusia berkarakter dan
berkecerdasan intelektual dan (2) pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan
terkait, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip berikut:
1. Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya mempertimbangkan karaktersitik
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam keseluruhan pembuatan
keputusan TIK.
2. Pemanfaatan TIK hendaknya dirancang untuk memperkuat minat dan motivasi
pengguna untuk menggunakannya semata guna meningkatkan dirinya, baik dari segi
intelektual, spiritual (rohani), sosial, maupun ragawi.
3. Pemanfaatan TIK hendaknya menumbuhkan kesadaran dan keyakinan akan
pentingnya kegiatan berinteraksi langsung dengan manusia (tatap muka), dengan lingkungan
sosial-budaya (pertemua, museum, tempat-tempat bersejarah), dan lingkungan alam
(penjelajahan) agar tetap mampu memelihara nilai-nilai sosial dan humaniora
(seni dan budaya), dan kecintaan terhadap alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Pemanfaatan TIK hendaknya menjaga bahwa kelompok sasaran tetap dapat
mengapresiasi teknologi komunikasi yang sederhana dan kegiatan-kegiatan
pembelajaran tanpa TIK karena tuntutan penguasaan kompetensi terkait dalam
rangka mengembangkan seluruh potensi siswa secara seimbang.
5. Pemanfaatan TIK hendaknya mendorong pengguna untuk menjadi lebih kreatif
dan inovatif sehingga tidak hanya puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK.
Jika kerangka pikir dalam pemanfaatan TIK tersebut dapat diterapkan
bersama prinsip-prinsip di atas, niscaya dampak positif akan dapat diperoleh
secara optimal dan dampak negatifnya
akan terkendali sampai titik minimal.
b. Kerangka Pikir
Pemanfaatan TIK
Prinsip-prinsip di atas diterapkan dengan
kerangka pikir pemanfaatan TIK dalam pendidikan, yang merupakan perajutan dari
komponen-komponen berikut: (1) fungsi dan tujuan pendidikan nasional, (2)
karakteristik peserta didik sasaran, (3) karakteristik jenis TIK, (4)
karakteristik bidang studi/garapan; dan (5)
sumber daya pendukung. Kerangka pikir ini dicitrakan dalam Gambar 2.
|
Komponen pertama adalah tujuan dan fungsi
pendidikan nasional. Seperti telah disebut sebelumnya, pendidikan berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak (karakter) dan peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (lihat
pengertian kehidupan yang cerdas di atas). Tujuannya adalah mengembangkan
seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Ibtinya
adalah bahwa pemanfaatan TIK hendaknya mendukung secara terpadu berkembangnya kebiasaan pikiran, kebiasaan
hati, dan kebiasaan raga yang mengandung nilai-nilai mulia/kebajikan, dan
mengedikitkan kebiasaan yang destruktif/merugikan bagi diri sendiri,
masyarakat, dan/atau bangsa.
Komponen kedua
adalah karakteristik peserta didik. Mengingat pentingnya mempertimbangkan
peserta didik sebagai subjek belajar, karakteristik peserta didik sebagai
komponen kedua mencakup faktor-faktor peserta didik berikut (Piaget, 1970;
Vygostky, 1978; Gardner, 1999; lewat Brown, 2007): umur bersama tingkat
pertumbuhan dan tingkat perkembangan,
kecerdasan (linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik-ragawi,
naturalistik, antarpribadi, intrapribadi); kepribadian (harga-diri, kecemasan,
pengambilan-resiko, empati, ego, introvert vs. Ekstrovert); dan gaya belajarnya
(field
Independence vs. Field Dependence; Left-vs. Right-Brain
Functioning, Ambiguity Tolerance, Reflectivity vs. Impulsivity, Visual, auditory, tactile).
Komponen ketiga adalah karateristik bidang studi atau bidang garapan,
yang pada dasarnya semuanya melibatkan aspek kognitif (akademik/teoretik), afektif
(rasa/ emosi), psikomotor (keterampilan melakukan dengan raga), dan interaktif (antarpribadi/sosial)
tetapi dengan penekanan yang berbeda. Untuk karakteristik bidang studi/bidang
garapan perlu dipertimbangkan apakah ia menekankan (i) keterampilan berpikir
akademik-teoretik seperti matematika, kimia, dan fisika, (ii) keterampilan melakukan
sesuatu seperti kejuruan/vokasi dan
olahraga, (iii) kepekaan/kehalusan rasa dan penataan emosi (sikap dan karakter)
seperti pendidikan agama,
kewarganegaraan, dan seni, atau (iv) keterampilan sosial/antarpribadi seperti
bahasa. Selain itu, perlu juga diperhitungkan apakah butir pembelajaran tertentu
berkenaan dengan berpikir tingkat rendah
atau tinggi, keterampilan tingkat rendah atau tinggi, tingkat interaksi
sederhana atau kompleks. Singkatnya, perlu dipertimbangkan penekanan diberikan
pada olah otak, olah hati, olah raga atau kombinasi seimbang dari ketiganya.
Komponen keempat adalah karakteristik
TIK. Seperti telah diuraikan di atas, masing-masing teknologi komunikasi
dan/atau teknologi informasi memiliki
daya berbeda untuk melayani kebutuhan yang berbeda pula. Untuk informasi faktual,
konseptual, dan prosedural, ada teknologi yang mampu mengabadikannya dalam
bentuk visual (tanpa atau dengan berwarna, tanpa atau dengan gerak), bentuk
audio, dan bentuk audio-visual, dan ada juga teknologi yang mampu mengabadikan informasi dan sekaligus
mengirimkan dan/atau memancarkannya ke kelompok sasaran yang lebih besar,
bahkan ke seluruh penjuru dunia. Pemilihan teknologi harus berdasarkan kriteria
relevansi (dengan tujuan pembelajaran/manajemen), keselarasan (dengan
karakteristik kelompok sasaran), keterjangkauan (kemampuan pengadaan), dan
kepraktisan (kemudahan dalam menggunakannya dalam kondisi dan situasi yang
ada).
Komponen kelima,
adalah sumber daya pendukung. Pemanfaatan TIK memerlukan dukungan tenaga
manusia, perangkat lunak, dan perangkat keras (peralatan), serta biaya. Tenaga
manusia mencakup guru dan teknisi TIK bersama kompetensinya, perangkat lunak
merujuk pada program TIK yang telah dirancang sesuai tujuan yang akan dicapai
dengan TIK terkait, perangkat keras merujuk pada peralatan TIK bersama dengan
tempat yang kuat dan aman untuk meletakkan dan menyimpan TIK, sedangkan biaya
mencakup biaya untuk pemeliharaan peralatan, peremajaan peralatan, dan
pengembangan program serta pemberdayaan tenaga manusianya.
Semua komponen ini hendaknya selaras dan setara satu sama lainnya dari
segi kapasitas. Ketidaselarasan dan ketidaksetaraan dapat menyebabkan
kepincangan dan terjadinya pemborosan. Misalnya, menurut pengamatan terbatas
saya, ketersediaan peralatan TIK di sekolah-sekolah di DIY (atas bantuan dari
Pemerintah) telah melebihi kapasitas guru sehingga pemanfaatannya untuk tujuan
pembelajaran sangat rendah, dan mungkin saja peralatan menjadi rusak bukan
karena digunakan tetapi karena terbengkalai lantaran jarang atau tidak pernah
digunakan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya memberdayakan tenaga manusia terkait
(calon pemakai dan teknisi) sebelum pengadaan perangkat TIK sehingga segera
dpat memanfaatkannya ketika sudah tersedia.
c. Persyaratan Kompetensi TIK bagi Guru
Guru memegang
peran kunci dalam pembelajaran dan dengan demikian dalam pemanfaatan TIK untuk
tujuan kependidikan. Agar dapat memetik manfaat optimal dati TIK untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, para guru perlu menguasasi sederet
kompetensi memadai untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran berbantuan atau
berbasis TIK. Dalam hal ini, dapat dipertimbangkan perangkat kompetensi guru
untuk era ICT yang dikembangkan oleh NSW Institute of Teachers (http://enuinjkt.ac.id/
index.php/campus-news/224-utilizing-information-and-communication-technology),
seperti disajikan di bawah:
1. Pemahaman tentang asumsi pedagogis yang melandasi penggunaan
TIK, misalnya bias gender dan etnik, relevansi pendidikan, dampak sosial, kecocokannya dengan lingkungan kelas, dengan pembelajaran
kooperatif dan dengan interaksi sejawat;
2. Pertimbangan tentang persoalan akses yang tepat ke informasi,
dan verifikasi sumber informasi termasuk Internet;
3. Pemahaman tentang TIK dan potensinya untuk meningkatkan belajar
siswa;
4. Peningkatan kesadaran akan sederet aplikasi dan teknologi
adaptif yang tersedia untuk mendukung siswa berkebutuhan khusus;
5. Evaluasi terhadap materi belaajr berbasis TIK dan perangkat
lunak untuk tujuan pendidikan;
6.
Penggunaan efektif aplikasi TIK untuk
mendukung hasil, isi, dan proses silabus tertentu,
7.
Peningkatan keterampilan untuk merancang
serangkaian tugas penilaian berbasis TIK yang menggunakan kriteria pensekoran
yang jelas terkait dengan hasil silabus
8.
Pemahaman tentang persyaratan bahwa mereka dan
siswanya menggunakan informasi elektronik secara tepat, termasuk yang terkait
dengan plagiarisme, hak cipta, pensensoran, dan privasi;
9.
Kapasitas mantap untuk menggunakan perangkat
lunak untuk menyusun teks, memanipulasi citra, menciptakan presentasi,
mengadakan sekuen suara digital dan visual, menyiumpan dan meretriv informasi digital untuk pembelajran
kelas dan online;
10.
Kapasitas nyata untuk mengevaluasi secara
kritis, meretris, memanipulasi, dan mengelola
informasi dari sumber-sumber seperti Internet, SD-ROMS, DVDROMS, dan
program komersial lainnya;
11.
Penggunaan perangkat lunak secara berhasil
yang mendukung jejaring dan komunikasi
sosial, termasuk email, forums,
chat and list services; dan
12. Kapasitas
mantap untuk menggunakan perangkat lunak yang tepat untuk membuat profil siswa
dan pelaporan, persiapan pelajaran dan administrasi sekolah.
Perangkat kompetensi
guru tersebut di atas dapat menjadi salah satu acuan untuk merancang pelatihan guru dalam jabatan agar mereka mampu
memanfaatkan TIK untuk pembelajaran yang diampunya.
Penguasaan perangkat kompetensi
guru di atas, akan membantu mereka dalam menjalankan delapan peran guru abad ke-21 sebagai
berikut: adaptor, insan bervisi,
kolaborator, pengambil resiko, pembelajar, model, komunikator, dan pemimpin. Penjelasan lengkap untuk
masing-masing dapat diunduh dari laman berikut: http://edorigami.wiki
spaces.com/21st+Century+Teacher.
Dari kedelapan peran, kepemimpinan
perlu diberi perhatian khusus, baik untuk guru, kepala sekolah, dan pengelola
pendidikan lainnya. Mengenai kepemimpinan menuju perubahan, dapat
dipertimbangkan pendapat Thousand and Villas dalam
makalah Managing complex change seperti disajikan dalam Tabel 1 di
bawah, yang diambil dari (http://edorigami.wikispaces.com/Managing+complex+change.
Dalam Tabel 1 ditunjukkan
bahwa variasi hasil kepemimpinan ditentukan oleh lengkap dan tidaknya
elemen-elemen terkait. Tentu saja persyaratan elemen-elemen kepemimpinan seperti
tersebut di atas bersama akibatnya jika
salah satu elemen absent bersama berlaku juga untuk kepala sekolah dan
pengelola pendidikan lainnya.
Tabel 1: Elemen-elemen kepemimpinan dan hasilnya.
Elemen
|
Hasil
|
||||
Visi
|
Keterampilan
|
Insentif
|
Sumberdaya
|
Rencana aksi
|
perubahan
|
-
|
Keterampilan
|
Insentif
|
Sumberdaya
|
Rencana aksi
|
Kebingungan
|
Visi
|
-
|
Insentif
|
Sumberdaya
|
Rencana aksi
|
Kecemasan
|
Visi
|
Keterampilan
|
-
|
Sumberdaya
|
Rencana aksi
|
Resistensi
|
Visi
|
Keterampilan
|
Insentif
|
-
|
Rencana aksi
|
Treadmill
|
D. Penutup
Perkembangan teknologi komunikasi mulai
dari yang sangat sederhana sampai yang tercanggih (TIK-internet) dengan dampak
makin besar dalam mengubah kehidupan manusia. Pertama, literasi teknologi telah
memfasilitasi penambahan dan pendalaman pengetahuan, yang pada gilirannya memfasilitasi
penciptaan pengetahuan, yang selanjutnya lagi dapat mendorong terciptanya
teknologi komunikasi baru. Kedua,
teknologi memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan ragam kehidupan manusia
bersama kenikmatan yang ditimbulkannya, tetapi pada waktu yang sama budaya yang
serba mudah dan instan cenderung mengikis nilai-nilai luhur kehidupan. Ketiga,
dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk memanfaatkan potensial TIK
secara optimal sambil menyedikitkan dampak negatifnya. Untuk inilah, akhirnya,
dunia pendidikan memerlukan kerangka pikir dan prinsip pemanfatan TIK.
Yogyakarta, 3 Februari 2011
Penulis,
Suwarsih Madya
Daftar
Pustaka:
Brown, D.H. (2007). Principles of
Language Learning and Teaching. New York:
Pearson-Longman.
Darmiyati Zuchdi dkk.(2009). Pendidikan Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.
Delors, J. (1997). Learning: the Treasure Within. Paris: UNESCO.
McGaughey, William. A moment of change in our
civilization http://worldhistorysite. com/criticalchange.html (Diunduh 16 Jan
11, 06.13)
McGaughey,
William (2007). Using World History to Predict the Future of the First
Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predictastciv.html
(Diunduh 16 Jan 2011).
McGaughey,
William. Using World History to Predict
the Future of the Second Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predict
2ndciv. html (Diunduh 17 Jan
2011).
McGaughey,
William. Using World History to Predict the Future of the Third Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predict3rdciv.html
McGaughey,
William
Predicting the future: Some Patterns
in World History and How they can be Used to Predict the Future. http://www.worldhistorysite.com/
prediction.html (Diunduh 17 Jan 2011)
Pemerintah Republik Indonesia
(2010). Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025.
Ratna Megawangi (2010). Strategi
dan Implementasi Pendidikan Karakter di PAUD. Makalah disajikan dalam seminar
tentang PAUD. Bogor.
Suwarsih
Madya (2010). Pembentukan Karakter Mandiri Dalam Pendidikan RSBI Dalam Sistem
Desentralistik. Makalah disajikan dalam
Pelatihan Konsumsi Pangan Sehat Untuk Semua Bagi Guru RSBI, Yogyakarta, 9-11 Desember 2010.
........Commitment
to the role of the teacher as a facilitator of learning. (2007). http://www.onu.edu/a+s/cte/knowledge/facilitator.shtml
(Diunduh 19 Jan 11)
...... Information
Age. (http://en.wikipedia.org/wiki/
Information_Age). Diunduh tgl. 29 Jan 2011.
....... Relationship between Cultural Technologies and Civilizations http://world
historysite.com/civtech.html (Diunduh 16
Jan 11 jam 06.25)
........ Some Dates in the History of Cultural
Technologies. http://inventors.about.com/gi/dynamic/offside.htm?site=
http://www.worldhistorysite.com/culttech.html
....... Impact of Cultural Technology upon Pubic
Experience. Diambil dari Five Epochs of Civilization by William
McGaughey (Thistlerose, 2000). http://worldhistorysite. com/ctimpact.html (17
Jan 11, 19.04)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar