Minggu, 27 Mei 2012

optimalisasi pemanfaatan TIK untuk meningkatkan mutu hakiki pendidikan


Optimalisasi Pemanfaatan TIK untuk Meningkatkan Mutu Hakiki Pendidikan
(Oleh Andi Supriatna)

A.     Pengantar
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan dari Panitia Seminar dengan tema “Penggunaan ICT dalam Pendidikan” dalam rangka Milad XXX Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta tahun 2011. Sesuai dengan tema, bahan dalam makalah ini sebagian besar diperoleh dengan memanfaatkan berbagai laman dalam internet dengan harapan bahwa sebagai peradaban baru, internet dapat menjadi sumber informasi yang terpercaya. Jika harapan itu meleset, sudah saatnya kita ikut memikirkan cara untuk menjaga kualitas informasi yang disajikan dalam internet atau cara menyiasati pemilihan bahan dari internet.
Makalah ini ditujukan untuk menstimulasi pemikiran tentang cara memanfaatkan tekonologi komunikasi dan informasi dalam pendidikan untuk mendukung upaya mencapai tujuan pendidikan nasional, yang menekankan pengembangan kecerdasan komprehensif peserta didik—kecerdasan kinestetik, emosional, spiritual, intelektual sehingga pendidikan dapat menjalankan fungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa seperti telah diamanatkan dalam Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat bahwa pendidikan tidak terjadi di ruang kosong, melainkan dalam alam kehidupan nyata dengan segala aspeknya yang saling terkait, yang telah berkembang melalui lorong waktu, pembicaraan akan dimulai dengan menelusuri jejak sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan pengaruhnya pada peradaban manusia. Dari sejarah tersebut kita akan dapat mengambil manfaat dalam hal-hal yang positif, dan menghindari kesalahan yang sama agar kita tidak dikendalikan oleh teknologi tetapi justru mengendalikan pemanfaatan teknologi untuk hal-hal yang mulia dan mendidik. Selanjutnya, akan ditawarkan kerangka pikir pemanfaatan TIK dalam pendidikan dan prinsip-prinsip pemanfaatan TIK untuk mencapai hasil yang diinginkan, yaitu mempermudah pengembangan menyeluruh potensi peserta didik—karakter dan kecerdasan intelektual. Pembahasan akan ditutup dengan beberapa kesimpulan.


B. Teknologi Komunikasi dan Peradaban Manusia  
Teknologi komunikasi atau disebut sebagai teknologi kultural (McGaghey, http://worldhistorysite.com) telah berkembang dan mempengaruhi perkembangan peradaban manusia, dimulai dengan teknologi komunikasi tertua berupa tulisan ideografik pada milenium ke-4 S.M. sampai yang mutakhir berupa komputer dengan jejaringnya (tekonologi informasi) pada masa menjelang abad ke-21. Rentang waktu yang panjang tersebut menyaksikan lima gelombang perkembangan teknologi komunikasi dengan pola umum sebagai berikut:
a.       Ketika dikenalkan pertama kali ke masyarakat, teknologi baru dengan kapabilitas komunikasi yang jauh lebih tinggi dan sangat berbeda akan mengubah budaya secara besar-besaran dan benar-benar menandai permulaan peradaban baru. Kualitas yang melekat pada teknologi baru tersebut membantu pembentukan budaya baru.
b.      Peradaban baru menghasilkan institusi kekuasaan baru karena kekuasaan yang sebelumnya ditangani secara informal menjadi tertata, terpisah sebagai pusat kekuasaan, dan menampakkan dominasi politik dan budaya.
c.       Setiap peradaban mengembangkan kepercayaan dan nilai utamanya sendiri, model kepribadiannya sendiri yang atraktif, and ”agamanya” (dalam arti luas) sendiri.
d.      Peradaban mengikuti siklus kehidupan di mana masa ”mudanya” ditandai dengan pertumbuhan pesat dan kegiatan budaya, masa ”dewasanya” ditandai dengan pembentukan kekuasaan, dan masa ”kejatuhannya” ditandai dengan koersi kelembagaan dan kekerasan yang melibatkan kekuasaan tsb.
e.       Tema atau nilai yang berlaku pada awal masa kesejarahan sering mendorong lahirnya tema atau nilai yang berlawanan seraya masa tersebut berakhir.
f.        Kedatangan peradaban baru juga mempengaruhi institusi-institusi yang dominan  pada dua masa sebelumnya. Institusi demikian mengalami proses demokratisasi.
Dari masa ke masa, perkembangan teknologi komunikasi makin cepat dan makin produktif, yang dapat dilihat dalam ringkasan yang disarikan dari tulisan McGaghey (http://worldhistorysite.com) seperti disajikan di bawah, dengan disertai ulasan tentang butir-butir yang dapat menjadi pelajaran bagi kita. Perlu dicatat bahwa McGaghey adalah pelopor pendirian laman tersebut. Pengelompokan perkembangan teknologi komunikasi menjadi lima gelombang mengacu pada model McGaghey seperti disajikan di bawah, dengan catatan bahwa ketika gelombang teknologi baru muncul tidak berarti teknologi sebelumnya berhenti berkembang.
1. Gelombang I: Teknologi Tulisan Ideografik atau Silabik
Gelombang teknologi komunikasi tertua ini berlangsung selama 37 abad, dimulai dengan penemuan tulisan dari inskripsi komersial oleh bangsa Sumerian pada abad ke-33 S.M., yang diikuti oleh 13 temuan atau peristiwa dengan yang terakhir terjadi pada abad ke-4 M. ketika dikembangkan tulisan Jepang berdasarkan model Korea dan Cina. Tulisan ideografik atau silabik ini menggunakan simbol tertulis untuk mengungkapkan seluruh kata – satu kata, satu simbol—terlepas dari isi bunyi. Jika kosakata lisan mengandung 10.000 kata, maka 10.000 simbol harus dipelajari untuk bahasa tulis. Tuntutan belajar yang begitu berat membuat pengetahuan tentang tulisan hanya dikuasai oleh kelompok orang yang sangat terlatih, seperti juru catat di candi-candi.
Tulisan ideografik digunakan untuk mengabadikan pengetahuan, membuat catatan perdagangan, dan mencatat riwayat pengumpulan pajak dan hukum, yang hanya dapat dilakukan oleh juru catat terlatih, untuk memenuhi kebutuhan birokrasi pada pemerintahan. Maka juru catat menikmati keistimewaan status sosial. Teknologi komunikasi tertua ini memfasilitasi terbentuknya masyarakat sipil tertua (milenium ke-4 S.M.) dengan munculnya negara-kota Mesopotania dan Mesir dan memuncak pada empat kekaisaran besar, yaitu Romawi, Partian, Kushan, dan Han China pada abad ke-2 dan awal abad ke-3 M. McGaghey menyebut masa ini sebagai Peradaban I, yang dicirikhasi oleh konflik antara masyarakat nomadik dan masyarakat pertanian dan juga oleh perang dan pembangunan kekuasaan politik.
Sistem satu simbol untuk satu kata dalam tulisan ideografik sebagai teknologi komunikasi menunjukkan kelugasan dan kekonkretan; masuk akal jika teknologi ini meningkatkan ketajaman persepsi terdekat. Masyarakat yang teknologi komunikasinya tidak pernah melebihi tahap tulisan ideografik cenderung menjadi pencatat profesional, yang diperlukan untuk mengadadikan pengetahuan, bukan untuk bercakap-cakap atau menghibur. Kedisiplinan mencatat ini sangat membantu pengaturan pekerjaan umum pada masa tulisan ideografik menjadi teknologi komunikasi utama. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa pencatatan cermat, tepat, tanpa makna ganda diperlukan untuk keperluan koordinasi. Praktik menghafal simbol-simbol yang tak terhitung jumlahnya meningkatkan kemampuan memori untuk menyimpan informasi  dan kecepatan memanggilnya kembali saat diperlukan. Pelaku budaya ini cenderung kuat memorinya dan tidak menjadi pelupa. Namun demikian, karena harus taat menyimpan simbol-simbol apa adanya dan dalam jumlah yang cukup besar, sangatlah terbatas kesempatan dan kemampuan untuk bergerak bagi pikiran mereka, yang berarti kurang berkembang kreativitasnya. Dengan demikian, teknologi ini tidak mampu mendorong berkembangnya ilmu yang memerlukan kemampuan analisis dan sintesis. Keterbatasan ini teratasi dalam perkembangan teknologi berikutnya.
2. Gelombang II: Teknologi Tulisan Alfabetik
Gelombang teknologi tulisan alfabetik dimulai dengan kemunculan tulisan alfabetik pertama, Semitik Utara, di Palestina pada Milenium ke-2 S.M., yang diduga dikembangkan dari tulisan demotik Mesir. Temuan ini diikuti oleh 20 temuan atau  peristiwa pada abad ke-9 Masehi  ketika dikembangkan tulisan sirilik di Bulgaria dari unsial (tulisan bundar-besar) Yunani.  Teknologi komunikasi berupa tulisan alfabetik ini menggunakan simbol visual berupa sederet huruf untuk mewakili bunyi bahasa. Huruf-huruf diatur mengikuti urutan bunyi dalam kata lisan untuk membentuk kata tertulis. Untuk kasus bahasa Inggris, ada 26 huruf yang mewakili berbagai bunyi moda lisan, meskipun tidak ada konsistensi bahwa satu bunyi diwakili oleh satu huruf atau perpaduan huruf tertentu. Seseorang harus mempelajari hanya 26 huruf tersebut untuk belajar menulis. Jumlah huruf yang berkurang mempermudah belajar menulis. Artinya, lebih banyak orang dapat membaca dan menulis. Maka muncullah publik pembaca.
Tulisan alfabetik banyak digunakan pada zaman Raja Daud sekitar 1000 S.M., kemudian dilengkapi dengan huruf vokal oleh bangsa Yunani. ”The five or six hundreds years that followed the transfer of the phonetic alphabet from the Phonecians to the Greeeks was one of the most creative periods in mans’ existence,” tulis Robert Logan dan buku The Alphabet Effect. Dia meneruskan, ”Within this short period there appeared many of the elements of Western civilization – abstract science, formal logic, axionatic geometry, rational philosophy, and representational art.”
Keaksaraan yang meningkat di Yunani dan tempat-tempat lainnya manimbulkan rasa ingin tahu tentang hakikat kata.  Kata yang ditorehkan pada medium padat seperti papirus atau batu tampaknya memiliki eksistensi yang mudah dirasakan atau ditangkap. Para filosof bertanya: benda apa ini? (Plato menjawab: bentuk).  Teknologi komunikasi ini mendukung terbentuknya masyarakat beradab setelah kebangkitan filosofis dan spiritual pada abad ke-6 dan ke-5 S.M.  Masyarakat memiliki cita-cita meraih kebaikan dan kebenaran; cita-cita secara esensial adalah kata. Filosofi etik seperti yang dirumuskan Plato dan Aristoteles berkembang menjadi ideologi agama Kristiani.  Meskipun dimulai pada masa yang didominasi oleh kekuasaan politik, peradaban ini berdiri tegak setelah bangsa Huns dan nomaden lainnya menghancurkan kekuasaan politik dominan tersebut antara abad ke-3 dan ke-6 M.. Tiga agama dunia—budha, Kristiani, dan Islam—dan agama-agama lain atau sistem-sistem  filosofi seperti Hinduisme, Judaisme, dan Konfucuisme mendominasi budaya manusia pada 1.500 tahun pertama era Kristiani. Pada masa ini berkembanglah agama dunia sebagai institusi dominan pada periode yang disebut oleh McGaughey sebagai Peradaban II.
Dibandingkan teknologi sebelumnya, teknologi tulisan alfabetik ini menghemat energi otak untuk menghafal dan menghemat tempat dalam memori serta mendorong pemikiran abstrak yang semuanya pada gilirannya mendorong kreativitas pikiran.  Manfaat terbesar dari teknologi ini adalah kemampuannya untuk mendorong perubahan budaya lisan menjadi budaya tulis, yang berarti peningkatan tingkat keaksaraan umum di masyarakat. Keaksaraan umum ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kemelitan (keingitahuan). Maka lahirlah publik yang melek aksara dan haus pengetahuan. Akses terhadap informasi yang terkandung dalam bahasa tulis berarti hilangnya keistimewaan yang pernah dinikmati oleh kelompok pencatat pada masa teknologi sebelumnya, yang menyiratkan permulaan proses demokrasi. Selain itu, sistem alfabet mendorong pemikiran analitis karena untuk mengubah bahasa lisan menjadi bahasa tulis, seseorang harus mengenali bunyi yang berurutan, mengasosiasikannya dengan huruf, dan menggabungkannya kembali menjadi kata. McGaghey mengutip Logan yang menyatakan “the constant repetition of the process of phonemic analysis of  a spoken word, every time it is written in an alphabetical form, subliminally promotes the skills of analysis and matching that are critical for the development of scientific and logical thinking.” ... “the linking together of ... letters to form words prodived a model for the linking of ideas to form a logical argument.” (http:www.wordhistorysite.com). Dari semua keuntungan tersebut di atas, maka masuk akal bahwa masa teknologi tulisan alfabetik ini melahirkan pemikir-pemikir besar dan memungkinkan berkembangnya sains abstrak, logika formal, geometri aksiomatirk, filosofi rasional, dan seni representasional, yang menjadi unsur peradaban Eropa. (McGaghey, mengutip Robert Logan, penulis The Alphabet Impact.)
Namun perlu dicatat bahwa akibat dari berkembangnya kemampun berpikir abstrak dengan kerangka makro, timbul kecenderungan untuk mengabaikan urusan kecil praktis. Kelompok intelektual seperti filosof cenderung mengabaikan urusan nyata sehari-hari. Diakui oleh Plato bahwa seluruh dunia menertawakan filosof atas “his ignorance in matters of daily life ... he is unaware what his next-door neighbour is doing ... the whole rabble will join the maid-servants in laughing at him, as from inexperience he walks blidly and stumbles into every pitfalls. His terrible clumsiness makes him seem so stupid.”(ibid.). Kelemahan lain adalah bahwa bahasa tulis tidak dapat mengabadikan dengan baik aspek sensuous experience (pengalaman yang memuaskan indera).
3. Gelombang III: Teknologi Cetak (Cetak, Ketik, Fotokopi)
Gelmbang teknologi cetak, yang mencakup cetak, ketik, dan fotokopi ini dimulai dengan penemuan kertas di Cina pada tahun 105 M. disusul 33 temuan/peristiwa sampai tahun 1985 M. ketika dipasarkan mesin fotokopi berwarna. Teknologi ini meningkatkan efisiensi dalam memperbanyak naskah tertulis. Piringan yang mengandung deretan huruf  “menulis” seluruh halaman teks dalam cetakan bertinta tunggal.  Efisiensi yang meningkat menghasilkan peningkatan volume pustaka cetak. Dalam hal ini,  budaya cermat berkembang karena tuntutan untuk memproduksi teks bebas kesalahan di mana harus dilakukan pengecekan ganda teks yang akan diproduksi, tidak hanya sekali, tetapi mungkin berulang kali. Di samping itu, dapat pula dibakukan ejaan dan jenis huruf.
Kemampuan teknologi cetak untuk mereproduksi teks berulang kali dengan hasil yang persis sama dengan  mudah dapat menjamin bahwa kata-kata pengarangnya benar-benar ditransfer ke pembaca. Ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh penggemar untuk karya tulisnya. Dalam masa peradaban ini, penyair dan penulis novel menjadi pahlawan budaya.
Pencetakan juga membantu penyebaran pengetahuan. Jurnal ilmiah dapat menyajikan argumen yang diungkapkan secara cermat kepada pembaca yang berminat. Kemampuan pewarta atau suratkabar untuk menarik pembaca masal dapat ditangkap oleh pengiklan. Saat inilah perdagangan menemukan jalan untuk memasarkan dagangannya melalui pustaka tertulis.
Teknologi komunikasi ini mendukung terbentuknya budaya sekuler Eropa yang dimulai dengan Renaisan Italia pada anad ke-14 dan ke-15 M. dan berlanjut sampai dua dasawarsa abad ke-20 M. Sastra dan seni humanis dan juga sains empiris menyodorkan tantangan pada agama yang berbasis filosofi. Peradaban ini didominasi oleh perdagangan meskipun pendidikan sekuler juga memainkan peranan penting. Masyarakat menjadi tertata dalam negara bangsa gaya Eropa.
Dari semua prestasi teknologi cetak, produk budaya cetak yang paling penting adalah suratkabar. Ini sebenarnya dimulai dengan korespondensi perorangan untuk berbagi keritera pribadi tentang peristiwa. Surat tentang topik umum menjadi dasar penulisan suratkabar. Tidak lama kemudian terbitlah suratkabar. Jurnalis Inggris, Addison dan Steele, mengembangkan gaya baru menulis dalam pubilikasi mingguan mereka, Tatler and Spectator, yang disebut equatone, yang artinya nada dan perspektif tunggal di seluruh suratkabar. Para jurnalis semua menulis dengan cara yang sama. Ketika sudah cukup banyak oplahnya, maka bisnis dibujuk agar memasang iklan. Inilah pemicu revolusi cara penjualan produk. Teknologi cetak telah menciptakan ruang untuk jenis baru pengalaman publik, termasuk wacana publik.
Gelombang perkembangan teknologi cetak, yang menyuburkan tumbuh-kembangnya perdagangan dan pendidikan sebagai institusi dominan, disebut oleh McGaghey sebagai Peradaban III.
Sejarah menunjukkan dua temuan teknologi cetak pertama kali terjadi di Cina, baru kemudian yang ketiga di Jerman, tetapi temuan ketiga inilah yang melahirkan peradaban baru. Tidak seperti bangsa Cina yang sistem tulisannya masih ideografik, bangsa Eropa mampu mengekploitasi teknologi cetak secara lebih efisien karena telah menerapkan sistem tulis alfabetik. Selain itu, masih ada keuntungan lain. Bangsa-bangsa Eropa masing-masing mengembangkan pustakanya dengan bahasanya sendiri, yang membantu memantabkan bahasa terkait. Pemanfaatan produktif tekonologi cetak dan pemantaban bahasa masing-masing bangsa tersebut telah menjadikan pustaka sebagai ekspresi budaya nasional.
Pustaka cetak membantu mengabadikan pengetahuan dengan menyebarkannya ke audien yang lebih luas melintasi ruang melalui pengiriman dan waktu melaui penyimpanan. Karena buku-buku tersedia banyak sekali, para ilmuwan tidak perlu menghabiskan waktu untuk mencari buku-buku tersebut sehingga mereka dapat memanfatkan waktunya untuk hal-hal yang lebih bermanfaat secara akademik. Pustaka cetak juga mendukung berkembangan pandangan bervariasi, terklasifikasi, dan lebih cermat teranalisis tentang dunia dan peningkatan penyebaran pengetahuan ilmiah dan jurnal ilmiah berkala mempercepat proses pertukaran informasi ilmiah. Di samping itu, kehati-hatian dalam menyiapkan teks tertulis cocok dengan kebutuhan ilmuwan untuk mengamati secara cermat dan melaporkan hasilnya secara amat rinci.  Dalam Abad Pertengahan praktik plagiat masih belum dianggap penting, tetapi ketika marak sekali praktik plagiat, timbullah kepedulian terhadap masalah ini. Memang, hasil cetak dapat menunjukkan gaya menulis seorang pengarang sehingga praktik plagiat akan dengan mudah ditemukan. Pada abad inilah kepedulian terhadap hak cipta mulai timbul.
4. Gelombang IV: Teknologi rekaman dan siaran elektronik
Gelombang teknologi ini mencakup fotografi, telegraf listrik, tilpon, fonograf dan perekam pita, gambar hidup dan perekam video, radio, TV. Gelombang ini dimulai dengan deskripsi tentang obskura kamera dalam buku oleh Giovanni Battista della Porta pada tahun 1553 M., yang diikuti oleh lebih dari 100 temuan/peristiwa sampai pada tahun 2001  ketika stasiun televisi STAR mulai operasi di Asia. Teknologi komunikasi elektronik ini mencakup beberapa peralatan yang ditemukan pada abad ke-19 dan ke-20 M, yang memungkinkan perekaman kata dan  citra yang memuaskan indera. Fotografi adalah temuan perdana teknologi jenis ini, yang kemudian diikuti oleh telegraf, telepon, fonograf, mesin gambar-bergerak, radio, dan televisi. Masing-masing peralatan ini mampu mengabadikan citra aural atau visual  atau kombinasi keduanya dengan segala kreativitas citra artisitiknya dan juga mampu memancarkan-nya ke audien besar dan tersebar ke seluruh penjuru dunia melintasi ruang dan waktu dengan perantara kabel atau gelombang.
Teknologi komunikasi elektronik ini, terutama televisi, menciptakan budaya gambar sempurna, begerak cepat. Penampil ritmik, cantik yang mendominasi ranah ini menjadi pehlawan budaya. Media elektronik memungkinkan pengabadian  setiap ekspresi wajah dan setiap infleksi suara penyanyi. Dengan teknologi komunikasi elektronik ini lahirnya budaya berita dan hiburan pada akhir abad ke-20. Dengan tekonologi komunikasi tersebut terpajanlah selebriti bagi khalayak ramai. Publik menjadi konsumen budaya popular, yang padanya melekat berbagai macam ritme. Produk komersial yang diiklankan di radio atau televisi  menjadi nama merek yang cepat laku. Maka jaringan televisi sebagai media berita dan  hiburan menjadi institusi dominan yang dihasilkan oleh Peradaban IV. Kemudian jaringan ini disusul dengan jaringan internet.
Intelektualitas yang tercipta lewat pengembangan ilmu yang difasilitasi oleh teknologi alfabetik telah ikut menghasilkan temuan-temuan teknologis yang sangat mempengaruhi gaya hidup manusia.  Kemampuan teknologi komunikasi elektronik (radio, TV) untuk mengabadikan, memajankan, dan memancarkan pengalaman hidup, baik nyata maupun imajinatif, ke audien yang besar di berbagai penjuru dunia, telah telah menghasilkan berbagai macam perubahan yang secara signifikan besar, utamanya dunia bisnis, khususnya bisnis hiburan,  dan pendidikan. Suguhan hiburan bisa sangat menyedot perhatian publik karena daya tariknya yang luar biasa lantaran mestimulasi semua indera, baik langsung maupun tidak langsung (lewat imajinasi). Para pelaku bisnis tidak menyia-nyiakan peluang untuk memasarkan produknya lewat teknologi ini dan terjadi perkembangan interaktif antara keduanya. Dunia hiburan menjadi bisnis tersendiri, sementara pesan-pesan bisnis dapat disisipkan pada acara hiburan, baik yang disuguhkan lewat media masa elektronik maupun yang langsung ditonton. Besarnya daya tarik hiburan yang tersedia, orang menjadi terbiasa menghabiskan waktu luangnya untuk hiburan, dan mulai kehilangan minatnya terhadap masalah-masalah yang memerlukan kerja yang lebih serius, baik kerja fisik maupun mental.
Berkembangnya bisnis periklanan elektronik merupakan inovasi penting yang pantas dicatat. Namun demikian, inovasi periklanan lewat media elektronik audio-visual ini lebih berpihak pada pebisnis besar karena kemampuannya membayar ongkos iklan yang mahal. Selain itu, perkembangan bisnis periklanan telah mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Daya tarik iklan mampu menguasai hati dan pikiran audien sedemikian cepat sehingga mereka tidak sempat menimbang-nimbang ketika memutuskan untuk membeli barang-barang yang diiklankan. Tanpa disadari mereka terbiasakan untuk ambil keputusan secara intuitif tanpa perasaan dalam dan tanpa pikiran panjang; dus  penguatan cara berpikir intuitif dan penurunan kemampuan berpikir kritis-reflektif.  Tambahan lagi, kepuasan fisik dan materialistic yang dapat diraih dengan cepat telah membentuk budaya konsumtif.  Budaya ini jelas menurunkan kemampuan untuk menentukan prioritas, yang dalam kondisi ekonomi lemah, dapat menyulut frustasi dan keputusasaan. Ini menjadi tantangan dalam dunia pendidikan karena dalam hidup ini masih banyak masalah yang perlu diselesaikan dengan melibatkan pemikiran kritis-reflektif  dengan disertai kepekaan nurani dan pemanfaatan sumber daya dalam kondisi terkendala memerlukan kemampuan menentukan prioritas.
5. Gelombang V: Teknologi Kalkulator dan Komunikasi Komputer
Gelombang teknologi komunikasi komputer ini dimulai dengan karya rintisan cara pengalian dan pembagian dengan menggunakan tambang atau tulang oleh John Napier pada tahun 1617 M. dan diikuti oleh 77 temuan/peristiwa sampai tahun 2005 ketika Youtube diluncurkan dan setahun kemudian dijual kepada Google dengan harga US$1,65 milyar. Teknologi komputer tampaknya lebih memikat tipe orang yang lebih intelektual, atau paling tidak, berkecenderungan teknikal daripada mereka yang terfokus pada dunia hiburan. Penggunanya sering bekerja sendiri di depan terminal. Mereka harus memiliki kemampuan mengetik. Ini menambah jejaringkerja individu-individu yang menyendiri, cerdas tetapi mungkin secara sosial aneh: orang yang membosankan. Di sisi lain, kegiatan komputer tidak memproduksi terlalu banyak hiruk-pikuk seperti peralatan sebelumnya. Mungkin peralatan komputer menjadi lebih kecil dan lebih mobil, dan dengan penambahan banyak fitur pengenal suara,  kegunaannya akan menjadi bagian dari gaya hidup aktif yang secara sosial menstimulasi. Ini telah mulai terjadi. Pada masa ini mulai berkembang Peradaban V, yang sekarang ini masih sangat muda.
Meski sangat muda, peradaban ini tampak telah berkembang dengan pesat, terutama dengan diciptakannya laman-laman internet yang mampu menyimpan berbagai macam informasi, baik cetak dan gambar bergerak serta suaranya sekaligus, dan dapat diakses secara instan dari manapun pengakses berada. Kemampuan internet yang demikian inilah makin membuat dunia ini benar-benar terasa seperti “kampung” maya, di mana para penduduknya sangat dekat. Tentu saja semua ini mempercepat penyebaran informasi tanpa batas, baik informasi faktual, konseptual, maupun prosedural, dalam kemasan artikel, jurnal, buku atau kemasan lain dengan diiringi gambar dan suara yang sesuai dengan segala kreativitas artistiknya. Laman-laman internet menjadi sumber informasi bagi semua orang yang menginginkannya. Dengan tekologi mutakhir ini, telah pula berkembang pembelajaran berbasis komputer dan berbasis TIK, yang membantu upaya memotivasi pelajar melalui kemasan informasi yang memikat, lengkap dengan gambar berwarna dan bergerak, baik gambar nyata maupun animasi. Model pembelajaran ini tentu selaras dengan lingkungan ber-TIK di luar sekolah sehingga memotivasi pelajar untuk belajar.
Kita juga bisa menyaksikan bahwa di Indonesia Peradaban V ini diwarnai dengan penggunaan hand-phone yang sangat luar biasa luas, menjangkau semua kelompok umur. Komunikasi antar manusia sangat lancar tanpa kendala ruang dan waktu, benar-benar instan. Kapasitas memori mesin HP yang makin besar mampu memuat data yang besar pula, termasuk pertunjukan musik dan gambar hidup bersama suaranya. Maka penggunanya memperoleh keuntungan ganda: (a) komunikasi tak kenal waktu dan tempat, dan (b) hiburan seketika. Di samping itu, pengguna HP juga bisa mengunduh informasi dari laman internet sehingga HP dapat membantu para pelajar dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan dukungan banyak informasi dalam waktu cepat. Kemampuan untuk mencetak langsung informasi yang diunduh dapat menghemat waktu para pelajar tsb.
Kemajuan TIK patut diapresiasi, namun ada juga beberapa hal yang perlu diwaspadai. Pertama, informasi yang tersaji di laman-laman internet bermacam-macam, mulai dari yang sangat bermanfaat karena relevan dengan kebutuhan pengunduh, sampai yang sangat merugikan karena kurang cocok dengan tingkat perkembangan anak. Termasuk dalam jenis informasi yang disebut terakhir itu adalah informasi yang mengandung perilaku kekerasan, kesewenang-wenangan, perilaku lain yang tidak terpuji serta pornografi. Kedua, pengguna HP sering lupa diri sehingga sering mereka menyetir sepeda motor sambil berkomunikasi lewat HP. Anak-anak sekolah juga sering lebih tertarik ber-HP ria daripada belajar. Ketiga, adanya orang yang secara tidak bertanggung jawab mengirim gambar porno ke nomor HP anak-anak di bawah umur, dan hal ini tidak mudah untuk dikendalikan.
Seraya budaya berita dan  hiburan tetap terus berkembang dengan teknologi komunikasi elektronik, budaya TIK telah menunjukkan kekuatannya. Internet memang sudah ada sejak 1969, tetapi dampaknya menjadi luar biasa setelah ditemukannya World Wide Web pada tahun 1989 oleh Tim Berners-Lee dan diimplementasikan tahun 1991 (http://en.wikipedia.org/wiki/Information_Age). Kecepatan mengakses dan menyebarkan informasi secara instan menjadi cirikhas Peradaban V dan belum pernah dialami sebelumnya.
6. Pelajaran dari Perkembangan Teknologi Komunikasi
Pelajaran yang dapat kita peroleh dari perkembangan teknologi dalam lima gelombang tersebut di atas adalah bahwa: (a)  dalam kehidupan bermasyarakat ada pekerjaan yang memerlukan ketekunan, ketelitian, ketaatan,  dan disiplin tinggi dan untuk ini diperlukan pelatihan yang memadai, meski hal ini tampak usang dalam era teknologi yang serba cepat; (b) kemampuan analisis dan sintesis serta berpikir abstrak sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi perlu diimbangi dengan kemampuan berpikir realistis agar tidak canggung menghadapi kehidupan nyata; (c) kemudahan dalam mengakses dan menggandakan bahan cetak mendorong praktik plagiat dan tantangan ini perlu dijawab lewat pendidikan dengan penanaman nilai kejujuran dan sportivitas; (d) kemampuan teknologi moderen untuk menyajikan informasi secara cepat dalam kemasan menarik dapat mempermudah pembelajaran bagi peserta didi dengan perbedaan tingkat kemampuan dan  gaya belajar; dan (e) teknologi yang membuat segala urusan kehidupan lebih mudah ini hanya mungkin lahir karena creativitas manusia yang didukung ketersedian sumber daya sebagai anugerah dari Tuhan YangMasa Esa.
Namun demikian, peringatan McLuhan pantas diperhatikan, yang terkenal dengan pernyataan ”The medium is the message”. Kita diingatkan bahwa teknologi mengubah budaya kita, dan perubahan itu tidak selalu positif, bahkan ada yang secara mendasar sangat negatif. Sebagai contoh, terciptannya budaya instan dalam penerapan teknologi canggih yang membuata semua urusan menjadi sangat mudah, dapat mengurangi daya tahan mental dan daya juang yang terkait dengan kesungguhan, keuletan, kegigihan,  dan kerja keras padahal pengembangan ilmu pengetahuan untuk mendukung pembangunan kehidupan yang lebih baik memerlukan semua ini. Suguhan media elektronik tentang gambaran kehidupan yang gemerlapan lewat kemasan hiburan telah menciptakan budaya konsumtif-boros. Selain itu, keasyikan menikmati hiburan di depan TV atau mengakses informasi di depan komputer dapat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti berolahraga dab bersilaturahmi dengan saudara/sahabat sehingga banyak kasus obesitas dan kegersangan kehidupan sosial. Selain itu, jira pembelajaran sebagian besar dilaksanakan dengan ICT, peserta didik akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan interaktif dan komunikasi tatap muka dan belajr memecahkan masalah dan bersosialisasi. Semua ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang menjadi sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Singkatnya, teknologi dalam tidak dapat mengambil alih peran guru.
C. Memanfaatkan TIK untuk Memfasilitasi Pendidikan dalam Menjalankan Fungsi dan Mencapai Tujuannya
Seperti telah disebut dalam pengantar, pendidikan tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam dunia nyata. Oleh sebab itu, ada baiknya kita perhatikan ciri-ciri abad informasi ini.
1. Konteks Zaman
Dalam memanfaatkan TIK untuk tujuan pendidikan diperlukan kesadaran akan ciri-ciri abad ke-21 ini, yang akan membantu dalam penentuan langkah kependidikan yang tepat, termasuk dalam merancang pemanfaatan TIK,  untuk menjamin efektivitasnya. Abad ke-21 sedikitnya memiliki ciri-ciri berikut (Mulkeen dan Tetenbaum, 1987 dan 1986, dalam Lange, 1990):
(a) berbasis pengetahuan, yang mensyaratkan dimilikinya kemampuan untuk membuat keputusan cerdas, berbasis rujukan pengetahuan, dan bijaksana;
(b) peningkatan arus informasi, yang memerlukan kemampuan dan kepedulian untuk mengeleksinya;
(c) perubahan cepat dan ketidaktetapan, yang memerlukan sikap fleksibel dan kemauan untuk selalu belajar (belajar sepanjang hayat);
(d) peningkatan desentralisasi organisasi, institusi, dan sistem, yang semuanya memerlukan kemampuan dan kemauan untuk berkolaborasi dan berbagi keahlian dan perspektif;
(e) berorientasi pada orang, yang memerlukan pengakuan akan pentingnya pemenuhan kebutuhan individu untuk penentuan nasib sendiri dan asupan dalam proses pembuatan keputusan untuk pengolahan eksperimentasi, inovasi, dan kewirausahaan perorangan; dan
(f) pergeseran demografis mayor, yang memerlukan kebijaksanaan matang dalam menanganinya.  
Dengan ciri-ciri tersebut, beberapa ketegangan telah diidentifikasi oleh UNESCO untuk dijawab. Ketegangan-ketegangan tersebut meliputi (Dellors, 1996):
1.      Ketegangan antara kepentingan global dan kepentingan lokal: secara bertahap setiap insan perlu menjadi warga global tanpa kehilangan akarnya, tetapi perlu tetap aktif berperan dalam kehidupan bangsa dan masyarakat lokalnya.

2.      Ketegangan antara orientasi nilai universal dan nilai perorangan: secara pelan tetapi pasti, dalam batas tertentu,  budaya menjadi terglobalisasi. Globalisasi menawarkan sederet  keuntungan sekaligus mengandung resiko, termasuk resiko terabaikannya karakter unik setiap insan manusia, yang pada hakikatnya  bebas memilih masa depannya sendiri dan mencapai seluruh potensinya dalam kekayaan tradisi dan lingkup budayanya sendiri yang, bila tidak dijaga,  dapat terancam oleh perkembangan kontemporer.

3.      Ketegangan antara tradisi dan modernitas, yang merupakan bagian dari masalah yang sama:  bagaimana mungkin menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa mem-belakangi masa lalu, bagaimana otonomi dapat diperoleh dengan tetap mendukung perkembangan bebas orang lain, dan bagaimana kemajuan ilmu dapat  diasimilasikan? Tantangan-tantangan ini perlu  dijawab dengan bantuan  teknologi informasi yang baru.

4.      Ketegangan antara pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek: ketegangan ini telah lama terjadi, dan justru  sekarang diperparah oleh  keserbasesaatan dan keserbacepatan. Opini publik menuntut jawaban cepat dan solusi seketika, sedangkan banyak masalah memerlukan strategi yang cermat, terpadu, dan ternegosiasikan untuk mencapai pembaharuan. Berkenaan dengan persoalan inilah kebijakan pendidikan mesti dibuat.

5.      Ketegangan antara kebutuhan berkompetisi pada satu sisi dan kepedulian terhadap pemerataan kesempatan pada sisi lain: persoalan ini telah dihadapi sejak awal abad ini oleh pembuat kebijakan sosial dan ekonomi dan pembuat kebijakan pendidikan. Berbagai solusi telah sering diusulkan tetapi tidak pernah tuntas. Tekanan untuk berkompetisi diduga telah menyebabkan mereka yang berkuasa kehilangan visi tentang misi mereka, yaitu misi untuk memberikan kepada setiap orang alat/sarana untuk dapat meraih keuntungan penuh dari setiap kesempatan yang ada. Untuk mengatasi masalah ini tiga kekuatan hendaknya dipadukan: kompetisi, yang memberikan insentif; kerja sama, yang memberikan kekuatan; dan solidaritas, yang mempersatukan.

6. Ketegangan antara perluasan luar biasa ilmu pengetahuan dan kapasitas manusia untuk mengasimilasikannya: kurikulum telah sarat muatan, tetapi ada godaan untuk menambah jumlah bidang studi, seperti pengetahuan diri (self-knowledge), dan cara-cara menjamin kesehatan fisik dan psikologis atau cara-cara meningkatkan pemahaman terhadap lingkungan alam dan mejaga kelestariannya. Maka strategi pembaharuan harus mencakup penentuan pilihan, dengan tetap mengingat pentingnya melestarikan ciri-ciri pendidikan dasar yang membelajarkan murid untuk meningkatkan kehidupannya melalui ilmu pengetahuan, eksperimen dan pengembangan budaya mereka.

7.  Ketegangan antara kebutuhan spiritual dan material: ‘moral’ sampai saat ini tampaknya masih merupakan hal yang dirindukan bangsa dunia. Maka merupakan tugas mulia pendidikan untuk mendorong setiap orang, untuk bertindak sesuai dengan tradisi dan keyakinannya dan menghormati kemajemukan, dan mengangkat pikiran dan semangatnya ke tataran universal serta dalam hal tertentu mentransendensikan dirinya. Dapat dikatakan bahwa bahwa kelangsungan hidup umat manusia tergantung pada keberhasilan untuk mencapai tataran moral ini.

Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya juga membekali peserta didik dengan kemampuan Ipteks dan Imtak dan kecakapan hidup untuk menjawab tantangan abad ke-21 dengan tujuh jenis ketegangan tersebut di atas. Maka kita perlu benar-benar merancang pemanfaatan TIK dengan mempertimbangan, pertama dan utamanya, fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita.

2. Fungsi Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, yang dilandasi UU Sisdiknas tahun 2003, pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 3). Fungsi ini sudah cukup lama terabaikan dan akibatnya dapat dilihat dari fenomena yang ada di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam makalah ini perhatian khusus diberikan pada masalah ini.
Kita wajib mengapresiasi bahwa pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025. Untuk kepentingan makalah ini, di bawah ini disajikan konteks mikro pendidikan karakter yang diambil dari Desain tersebut (halaman 33). (Pembaca bisa membandingkan rancangan ini dengan rancangan utama yang diusulkan oleh Darmiyati Zuchdi, 2009).
Seperti dapat dilihat pada Gambar 1, kegiatan pembentukan karakter perlu dilakukan di sekolah,  rumah, dan masyarakat dengan menjaga keselarasannya untuk menjamin ekeftivitasnya. Pembiasaan kerja hati, otak, dan raga yang dilandasi nilai-nilai universal dalam kehidupan keseharian menjadi strategi utama dalam pembentuk-an karakter, disertai keteladanan dari semua komunitas pendidikan dalam tripusat pendidikan tersebut. Lewat pembiasaan akan terbentuk karakter mulia yang merupakan “habit of the mind,” “habit of the heart”, dan “habit of the hands” (kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan raga), sebagai penegakan sembilan nilai universal yang menjadi pilar karakter sebagai berikut (Ratna Megawangi, 2010): (1) Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, (3) kejujuran, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Karakter orang akan mewujud dalam kiprahnya  di dunia nyata ketika orang yang bersangkutan menghadapi masalah. Wujud kiprah karakter idaman adalah keberhasilan dalam ”(a) menentukan pilihan-pilihan secara mandiri dalam hidup  ketika menghadapi kendala untuk mencapai kebaikan, dan (b) mengatasi secara efektif situasi sulit, tidak enak/tidak nyaman, atau berbahaya (Suwarsih Madya, 2010: 5).” Untuk mencapai keberhasilan membentuk karakter, diperlukan kerja keras dan komitmen yang konsisten. Terkait dengan hal ini, perlu diperhatikan pernyataan berikut: Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination.” (John Luther, dikutip oleh Ratna Megawangi, 2010).
Selanjutnya, tujuan pendidikan nasional adalah ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3). Artinya, seluruh potensi peserta didik hendaknya dikembangkan, baik potensi kinestetik, potensi emosional, potensi estetik, potensi intelektual, dan potensi spiritual keagamaan sehingga tumbuh kembang menjadi menusia Indonesia seutuhnya dengan ciri-ciri tersebtu di atas. Jika tujuan ini sepenuhnya tercapai, maka watak atau karakter idaman peserta didik akan terbentuk sehingga terwujud dalam kiprahnya seperti tersebut di atas dan dengan demikian maka akan terwujudlah kehidupan bangsa yang cerdas, sebagai salah satu tujuan pendirian negara RI tercinta ini. Terkait dengan hal ini, telah diidentifikasi dua ciri kehidupan yang cerdas sebagai berikut: (1) sarat oleh perilaku warga yang mengandung kebajikan/kemajuan bagi diri sendiri, masyaarakat, dan bangsa sebagai (a) amalan ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila, dan (b) penerapan ipteks yang relevan; dan (2) jauh dari perilaku destruktif/merugikan bagi diri sendiri, masyarakat, dan bangsa (Suwarsih Madyaa, 2010).
Persoalan pentingnya watak atau karakter bukan hal baru. Ratna Megawangi (2010) mengutip Heraclitus (500S.M.) yang   berkata bahwa  Character is destiny. It shapes the destiny of a whole society”. Untuk  acuan konseptual tentang pendidikan, ada baiknya mempertimbangkan pengertian tentang pendidikan karakter yang juga dikutip oleh Ratna Megawangi (2010: 5) dari Bohlin, Farmer, dan Ryan (2001) sebagai berikut: “Character education is teaching students to know the good, love the good, and do the good. It is cognitive, emotional, and behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on all three”.  

Karakter ini perlu diberi perhatian serius dalam pendidikan karena telah ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual (verbal dan logis-matematis) hanya memberikan kontribusi 20% saja dari keberhasilan manusia di masyarakat, sedangkan 80% lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosi (Ratna Megawangi, 2010, menyitir Heckman, James & Pedro Carneiro, 2003, penulis "Human Capital Policy.") Kecerdasan emosi merujuk pada karakter atau dalam bahasa agamanya akhlak mulia. Hasil penelitian George Boggs, yang juga disitir Ratna Megawangi (2010) juga menunjukkan bahwa dari 13 faktor penunjang keberhasilan seseorang di dunia kerja, 10 di antaranya (hampir 80%) adalah kualitas karakter seseorang, dan  sisanya (tiga) berkaitan dengan faktor kecerdasan intelektual. Ke-13 faktor tersebut adalah: (1) jujur dan dapat diandalkan; (2) bisa dipercaya dan tepat waktu; (3) bisa menyesuaikan diri dengan orang lain; (4) bisa bekerjasama dengan atasan; (5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban; (6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri; (7) berpikir bahwa dirinya berharga; (8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif; (9) bisa bekerja mandiri dengan supervisi minimum; (10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya; (11) mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan); (12) bisa membaca dengan pemahaman memadai; dan (13) mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).
Begitu pentingnya karakter sehingga perlu benar-benar dijaga agar pemanfaatan TIK tidak mengganggu pembentukan karakter peserta didik, melainkan justru mendukungnya. Mengapa? Karena tidak ada gunanya mendidik anak menjadi sangat pintar tetapi karakternya buruk dan/atau lemah sehingga justru dengan kepinterannya tersebut kelak mereka akan membuat kerusakan atau menimbulkan kerugian, baik bagi diri sendiri, bagi masyarakat, maupun bagi bangsa. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK dalam pendidikan perlu dirancang, direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai dalam rangka mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya seperti diuraikan di atas.
3. Merancang Pemanfaatan TIK untuk Mendukung Pelaksanaan Fungsi dan Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
Belajar dari sejarah yang diuraikan pada permulaan makalah ini, ada baiknya kita renungkan salah satu saran untuk tidak puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK, melainkan menjadi produsen dan inovator dalam TIK sehingga dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik (http://en.wikipedia.org/wiki/ Information_Age). Selanjutnya, agar pamanfaatan TIK dalam pendidikan dapat benar-benar optimal dari segi dukungannya pada pelaksanaan fungsi dan tercapainya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, kita perlu  mengoptimalkan keuntungannya dan meminimalkan dampak negatifnya sesuai dengan kualtias yang melekat pada  TIK terkait dan bidang garapan pendidikan, yaitu pembelajaran dan managemen. Oleh sebab itu, pemanfaatan TIK perlu dituntun oleh kerangka pikir daln dilandasi oleh prinsip. Saya mengusulkan kerangka pikir dan lima prinsip seperti disajikan di bawah.
a. Prinsip-prinsip Pemanfaatan TIK dalam Pendidikan

Untuk menjaga agar pemanfaatan TIK tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap (1) pengembangan peserta didik menjadi manusia berkarakter dan berkecerdasan intelektual dan (2) pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan terkait, hendaknya diterapkan prinsip-prinsip berikut:
1.      Pemanfaatan TIK dalam pendidikan hendaknya mempertimbangkan karaktersitik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam keseluruhan pembuatan keputusan TIK.
2.      Pemanfaatan TIK hendaknya dirancang untuk memperkuat minat dan motivasi pengguna untuk menggunakannya semata guna meningkatkan dirinya, baik dari segi intelektual, spiritual (rohani), sosial, maupun ragawi.
3.      Pemanfaatan TIK hendaknya menumbuhkan kesadaran dan keyakinan akan pentingnya kegiatan berinteraksi langsung dengan manusia (tatap muka), dengan lingkungan sosial-budaya (pertemua, museum, tempat-tempat bersejarah), dan lingkungan alam (penjelajahan) agar tetap mampu memelihara nilai-nilai sosial dan humaniora (seni dan budaya), dan kecintaan terhadap alam sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
4.      Pemanfaatan TIK hendaknya menjaga bahwa kelompok sasaran tetap dapat mengapresiasi teknologi komunikasi yang sederhana dan kegiatan-kegiatan pembelajaran tanpa TIK karena tuntutan penguasaan kompetensi terkait dalam rangka mengembangkan seluruh potensi siswa secara seimbang.
5.      Pemanfaatan TIK hendaknya mendorong pengguna untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif sehingga tidak hanya puas menjadi konsumen informasi berbasis TIK.

Jika kerangka pikir dalam pemanfaatan TIK tersebut dapat diterapkan bersama prinsip-prinsip di atas, niscaya dampak positif akan dapat diperoleh secara optimal dan dampak  negatifnya akan terkendali sampai titik minimal.
b. Kerangka Pikir Pemanfaatan TIK
Prinsip-prinsip di atas diterapkan dengan kerangka pikir pemanfaatan TIK dalam pendidikan, yang merupakan perajutan dari komponen-komponen berikut: (1) fungsi dan tujuan pendidikan nasional, (2) karakteristik peserta didik sasaran, (3) karakteristik jenis TIK, (4) karakteristik bidang studi/garapan; dan (5)  sumber daya pendukung. Kerangka pikir ini dicitrakan dalam Gambar 2.

 
Gambar 2: Kerangka Pikir Pemanfaatan TIK dalam Pendidikan
Komponen pertama adalah tujuan dan fungsi pendidikan nasional. Seperti telah disebut sebelumnya, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak (karakter) dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (lihat pengertian kehidupan yang cerdas di atas). Tujuannya adalah mengembangkan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Ibtinya adalah bahwa pemanfaatan TIK hendaknya mendukung secara terpadu  berkembangnya kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan raga yang mengandung nilai-nilai mulia/kebajikan, dan mengedikitkan kebiasaan yang destruktif/merugikan bagi diri sendiri, masyarakat, dan/atau bangsa.
Komponen kedua adalah karakteristik peserta didik. Mengingat pentingnya mempertimbangkan peserta didik sebagai subjek belajar, karakteristik peserta didik sebagai komponen kedua mencakup faktor-faktor peserta didik berikut (Piaget, 1970; Vygostky, 1978; Gardner, 1999; lewat Brown, 2007): umur bersama tingkat pertumbuhan  dan tingkat perkembangan, kecerdasan (linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik-ragawi, naturalistik, antarpribadi, intrapribadi); kepribadian (harga-diri, kecemasan, pengambilan-resiko, empati, ego, introvert vs. Ekstrovert); dan gaya belajarnya (field Independence vs. Field Dependence; Left-vs. Right-Brain Functioning,  Ambiguity Tolerance,  Reflectivity vs. Impulsivity,  Visual, auditory, tactile).

         Komponen ketiga adalah karateristik bidang studi atau bidang garapan, yang pada dasarnya semuanya melibatkan aspek kognitif (akademik/teoretik), afektif (rasa/ emosi), psikomotor (keterampilan melakukan dengan raga), dan interaktif (antarpribadi/sosial) tetapi dengan penekanan yang berbeda. Untuk karakteristik bidang studi/bidang garapan perlu dipertimbangkan apakah ia menekankan (i) keterampilan berpikir akademik-teoretik seperti matematika, kimia, dan fisika, (ii) keterampilan melakukan sesuatu seperti  kejuruan/vokasi dan olahraga, (iii) kepekaan/kehalusan rasa dan penataan emosi (sikap dan karakter)  seperti pendidikan agama, kewarganegaraan, dan seni, atau (iv) keterampilan sosial/antarpribadi seperti bahasa. Selain itu, perlu juga diperhitungkan apakah butir pembelajaran tertentu berkenaan dengan  berpikir tingkat rendah atau tinggi, keterampilan tingkat rendah atau tinggi, tingkat interaksi sederhana atau kompleks. Singkatnya, perlu dipertimbangkan penekanan diberikan pada olah otak, olah hati, olah raga atau kombinasi seimbang dari ketiganya.

         Komponen keempat adalah karakteristik TIK. Seperti telah diuraikan di atas, masing-masing teknologi komunikasi dan/atau teknologi informasi  memiliki daya berbeda untuk melayani kebutuhan yang berbeda pula. Untuk informasi faktual, konseptual, dan prosedural, ada teknologi yang mampu mengabadikannya dalam bentuk visual (tanpa atau dengan berwarna, tanpa atau dengan gerak), bentuk audio, dan bentuk audio-visual, dan ada juga teknologi yang mampu  mengabadikan informasi dan sekaligus mengirimkan dan/atau memancarkannya ke kelompok sasaran yang lebih besar, bahkan ke seluruh penjuru dunia. Pemilihan teknologi harus berdasarkan kriteria relevansi (dengan tujuan pembelajaran/manajemen), keselarasan (dengan karakteristik kelompok sasaran), keterjangkauan (kemampuan pengadaan), dan kepraktisan (kemudahan dalam menggunakannya dalam kondisi dan situasi yang ada).

Komponen kelima, adalah sumber daya pendukung. Pemanfaatan TIK memerlukan dukungan tenaga manusia, perangkat lunak, dan perangkat keras (peralatan), serta biaya. Tenaga manusia mencakup guru dan teknisi TIK bersama kompetensinya, perangkat lunak merujuk pada program TIK yang telah dirancang sesuai tujuan yang akan dicapai dengan TIK terkait, perangkat keras merujuk pada peralatan TIK bersama dengan tempat yang kuat dan aman untuk meletakkan dan menyimpan TIK, sedangkan biaya mencakup biaya untuk pemeliharaan peralatan, peremajaan peralatan, dan pengembangan program serta pemberdayaan tenaga manusianya.

Semua komponen ini hendaknya selaras dan setara satu sama lainnya dari segi kapasitas. Ketidaselarasan dan ketidaksetaraan dapat menyebabkan kepincangan dan terjadinya pemborosan. Misalnya, menurut pengamatan terbatas saya, ketersediaan peralatan TIK di sekolah-sekolah di DIY (atas bantuan dari Pemerintah) telah melebihi kapasitas guru sehingga pemanfaatannya untuk tujuan pembelajaran sangat rendah, dan mungkin saja peralatan menjadi rusak bukan karena digunakan tetapi karena terbengkalai lantaran jarang atau tidak pernah digunakan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya memberdayakan tenaga manusia terkait (calon pemakai dan teknisi) sebelum pengadaan perangkat TIK sehingga segera dpat memanfaatkannya ketika sudah tersedia.
c. Persyaratan Kompetensi TIK bagi Guru
Guru memegang peran kunci dalam pembelajaran dan dengan demikian dalam pemanfaatan TIK untuk tujuan kependidikan. Agar dapat memetik manfaat optimal dati TIK untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, para guru perlu menguasasi sederet kompetensi memadai untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran berbantuan atau berbasis TIK. Dalam hal ini, dapat dipertimbangkan perangkat kompetensi guru untuk era ICT yang dikembangkan oleh NSW Institute of Teachers (http://enuinjkt.ac.id/ index.php/campus-news/224-utilizing-information-and-communication-technology), seperti disajikan di bawah:
1.      Pemahaman tentang asumsi pedagogis yang melandasi penggunaan TIK, misalnya bias gender dan etnik, relevansi pendidikan, dampak sosial, kecocokannya  dengan lingkungan kelas, dengan pembelajaran kooperatif dan dengan interaksi sejawat;
2.      Pertimbangan tentang persoalan akses yang tepat ke informasi, dan verifikasi sumber informasi termasuk Internet;
3.      Pemahaman tentang TIK dan potensinya untuk meningkatkan belajar siswa;
4.      Peningkatan kesadaran akan sederet aplikasi dan teknologi adaptif yang tersedia untuk mendukung siswa berkebutuhan khusus;
5.      Evaluasi terhadap materi belaajr berbasis TIK dan perangkat lunak untuk tujuan pendidikan;
6.      Penggunaan efektif aplikasi TIK untuk mendukung hasil, isi, dan proses silabus tertentu,
7.      Peningkatan keterampilan untuk merancang serangkaian tugas penilaian berbasis TIK yang menggunakan kriteria pensekoran yang jelas terkait dengan hasil silabus
8.      Pemahaman tentang persyaratan bahwa mereka dan siswanya menggunakan informasi elektronik secara tepat, termasuk yang terkait dengan plagiarisme, hak cipta, pensensoran, dan privasi;
9.      Kapasitas mantap untuk menggunakan perangkat lunak untuk menyusun teks, memanipulasi citra, menciptakan presentasi, mengadakan sekuen suara digital dan visual, menyiumpan dan  meretriv informasi digital untuk pembelajran kelas dan online;
10.  Kapasitas nyata untuk mengevaluasi secara kritis, meretris, memanipulasi, dan mengelola  informasi dari sumber-sumber seperti Internet, SD-ROMS, DVDROMS, dan program komersial lainnya;
11.  Penggunaan perangkat lunak secara berhasil yang mendukung jejaring dan komunikasi  sosial, termasuk email, forums, chat and list services; dan
12.   Kapasitas mantap untuk menggunakan perangkat lunak yang tepat untuk membuat profil siswa dan pelaporan, persiapan pelajaran dan administrasi sekolah.
Perangkat kompetensi guru tersebut di atas dapat menjadi salah satu acuan untuk merancang  pelatihan guru dalam jabatan agar mereka mampu memanfaatkan TIK untuk pembelajaran yang diampunya.
Penguasaan perangkat kompetensi guru di atas, akan membantu mereka dalam menjalankan  delapan peran guru abad ke-21 sebagai berikut:  adaptor, insan bervisi, kolaborator, pengambil resiko, pembelajar, model, komunikator, dan  pemimpin. Penjelasan lengkap untuk masing-masing dapat diunduh dari laman berikut: http://edorigami.wiki spaces.com/21st+Century+Teacher.

Dari kedelapan peran, kepemimpinan perlu diberi perhatian khusus, baik untuk guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan lainnya. Mengenai kepemimpinan menuju perubahan, dapat dipertimbangkan pendapat Thousand and Villas dalam makalah Managing complex change seperti disajikan dalam Tabel 1 di bawah, yang diambil dari (http://edorigami.wikispaces.com/Managing+complex+change.

Dalam Tabel 1 ditunjukkan bahwa variasi hasil kepemimpinan ditentukan oleh lengkap dan tidaknya elemen-elemen terkait. Tentu saja persyaratan elemen-elemen kepemimpinan seperti tersebut di atas bersama akibatnya  jika salah satu elemen absent bersama berlaku juga untuk kepala sekolah dan pengelola pendidikan lainnya.

Tabel 1: Elemen-elemen kepemimpinan dan hasilnya.

 
Elemen

Hasil

Visi
Keterampilan
Insentif
Sumberdaya
Rencana aksi
perubahan
-
Keterampilan
Insentif
Sumberdaya
Rencana aksi
Kebingungan
Visi
-
Insentif
Sumberdaya
Rencana aksi
Kecemasan
Visi
Keterampilan
-
Sumberdaya
Rencana aksi
Resistensi
Visi
Keterampilan
Insentif
-
Rencana aksi
Treadmill

D. Penutup
Perkembangan teknologi komunikasi mulai dari yang sangat sederhana sampai yang tercanggih (TIK-internet) dengan dampak makin besar dalam mengubah kehidupan manusia. Pertama, literasi teknologi telah memfasilitasi penambahan dan pendalaman pengetahuan, yang pada gilirannya memfasilitasi penciptaan pengetahuan, yang selanjutnya lagi dapat mendorong terciptanya teknologi komunikasi baru.  Kedua, teknologi memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan ragam kehidupan manusia bersama kenikmatan yang ditimbulkannya, tetapi pada waktu yang sama budaya yang serba mudah dan instan cenderung mengikis nilai-nilai luhur kehidupan. Ketiga, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk memanfaatkan potensial TIK secara optimal sambil menyedikitkan dampak negatifnya. Untuk inilah, akhirnya, dunia pendidikan memerlukan kerangka pikir dan prinsip pemanfatan TIK.
Yogyakarta, 3 Februari 2011
Penulis,
Suwarsih Madya

Daftar Pustaka:
Brown, D.H. (2007). Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson-Longman.

Darmiyati Zuchdi dkk.(2009). Pendidikan Karakter: Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: UNY Press.

Delors, J. (1997). Learning: the Treasure Within. Paris: UNESCO.
McGaughey, William. A moment of change in our civilization http://worldhistorysite. com/criticalchange.html (Diunduh 16 Jan 11, 06.13)
McGaughey, William (2007). Using World History to Predict the Future of the First Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predictastciv.html (Diunduh 16 Jan 2011).
McGaughey, William. Using World History to Predict the Future of the Second Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predict 2ndciv. html (Diunduh 17 Jan 2011).
McGaughey, William. Using World History to Predict the Future of the Third Civilization. http://www.worldhistorysite.com/predict3rdciv.html
McGaughey, William Predicting the future: Some Patterns in World History and How they can be Used to Predict the Future. http://www.worldhistorysite.com/ prediction.html (Diunduh 17 Jan 2011)
Pemerintah Republik Indonesia (2010). Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.

Ratna Megawangi (2010). Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter di PAUD. Makalah disajikan dalam seminar tentang PAUD. Bogor.

Suwarsih Madya (2010). Pembentukan Karakter Mandiri Dalam Pendidikan RSBI Dalam Sistem Desentralistik. Makalah disajikan dalam  Pelatihan Konsumsi Pangan Sehat Untuk Semua Bagi Guru RSBI, Yogyakarta, 9-11 Desember 2010.

........Commitment to the role of the teacher as a facilitator of learning. (2007). http://www.onu.edu/a+s/cte/knowledge/facilitator.shtml (Diunduh 19 Jan 11)
 ...... Information Age.  (http://en.wikipedia.org/wiki/ Information_Age). Diunduh tgl. 29 Jan 2011.
....... Relationship between Cultural Technologies and Civilizations http://world historysite.com/civtech.html (Diunduh  16 Jan 11 jam 06.25)
....... Impact of Cultural Technology upon Pubic Experience. Diambil dari Five Epochs of Civilization by William McGaughey (Thistlerose, 2000). http://worldhistorysite. com/ctimpact.html (17 Jan 11, 19.04)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar