Definisi
asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin)
untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai
konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti
rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana
maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad
(transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan
berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada
perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara
pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil
dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa
istilah asuransi yang digunakan antara lain:
a. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki
atau berkepentingan atas harta benda
b. Penanggung, dalam hal ini
Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari
Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta
benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang
dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
- Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung membayar premi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
- Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
- Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada sewaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
- Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat
masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat
Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga
ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di
kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang
melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada
makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan
tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan
siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di
samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……”
(Q. S. An-Naml: 64)
“Dan
kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keperluan
hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S.
Al-Hijr: 20)
Dari
ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan
segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang.
Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan
diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk
mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak
dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah
ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan
pendapat sukar dihindari.
Ada
beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam.
Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I.
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat
ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti
Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”).
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
- Asuransi sama dengan judi
- Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
- Asuransi mengandung unsur riba/renten.
- Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
- Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
- Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
- Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
2
. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat
kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad
Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad
Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir),
dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha).
Mereka beralasan:
- Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
- Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
- Saling menguntungkan kedua belah pihak.
- Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
- Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
- Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
- Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
3.
Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial
diharamkan
Pendapat
ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam
pada Universitas Cairo).
Alasan
kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat
komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi
yang bersifat sosial (boleh).
Alasan
golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang
tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam
masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang
keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana
yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya
ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan
alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam
keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad
SAW:
“Tinggalkan
hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan
kamu.” (HR. Ahmad)
Asuransi
syariah
A.
Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu
asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah
tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
- Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
- Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
- Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
- Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
- Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki
beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
- Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
- Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
- Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
- Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
- Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat
yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
- Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
- Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
- Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
- Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
- Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
- Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
- Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
- Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan
asuransi konvensional.
A. Persamaan antara
asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama,
ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi
syariah, diantaranya sbb:
- Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
- Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
- Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
- Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan
antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi
konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
- Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
- Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
- Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
- Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
- Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
- Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari
perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional
tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi
kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat
yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh
karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan
model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan
asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan
oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan
di muka.
Selanjutnya,
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset
Ilmiyah dan Fatwa
Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
“Asuransi
ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa
tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya
melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau
menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi
tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi
kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang
membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau
membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya
alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap
manusia.
Contoh
asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang
merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi
apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi
begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman
Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya,
bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang
tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk
kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan
masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut
ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut
Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang
asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma
ba’du.
Telah
dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi
komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar
serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil,
yang mana
hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain
dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang
bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari
sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan
dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal
pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan,
dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan
sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama
hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad
Du'at wat Taubah 2699]
Ini
sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi
akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar
balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram
dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa
yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang
lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali
terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan
antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu
sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan
ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan
membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat
dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada
seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan
Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min
At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian,
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
“Asuransi
konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah
firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam
hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi
(polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka
membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan
ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun
meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya
pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi
kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali
lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah
membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal
lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka
bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai
kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka
cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan
barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal
ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya
kecelakaan dan angka kematian.
Referensi:
1. Al-Quran AL-karim
2. Al-fiqh
al-Islamy wa adillatuhu, DR. Wahbah Azzuhaily.
3. Al-Islam wal manahij al-Islamiyah, Moh. Al
Gozali.
4. Asuransi dalam hukum Islam, Dr. Husain
Hamid Hisan.
5. Majalah al- buhuts
al- Islamiyah, kumpulan ulama-ulama besar pada lembaga riset, Fatwa, dan
dakwah.
6.
Masail al-fiqhiyah, zakat, pajak, asuransi dan lembaga keuangan, M. Ali Hasan.
7.
Halal
dan haram, DR. Muhammad Yusuf al-Qordhowi
8.
Riba wa muamalat masrofiyah, DR. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik.
9.
Riba wa adhroruhu ala al mujtama’, DR. Salim Segaf al-Djufri.
10. Masail diniyah keputusan musyawarah nasional Alim ulama
NU, bandar lampung, 16-20 Rajab/ 25 januari 1992 M, 11.Kitab Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar